Oleh : Ketenangan Cakra Jiwa ( Syajaratul Yaqin )
Setelah menerangkan tentang orang-orang beriman pada ayat-ayat sebelumnya, pada ayat ini Allah Swt. mengalihkan pembicaraan-Nya kepada Rasulullah Saw.
Pembicaraan ini dilakukan dalam rangka untuk menetapkan beberapa hakikat besar yang mempunyai pengaruh yang sangat dalam untuk membangun dan menegakkan persepsi yang benar di atas prinsip-prinsip Islam.
Pembicaraan ini juga sangat mempengaruhi tegaknya suluk Islami (tingkah laku yang Islami), sebuah jalan yang telah ditentukan Allah Swt. yang dijelaskan pada ayat ini.
Pada awal ayat ini Allah mengatakan, "Laisa ‘alaika hudahum walakinnallaaha yahdi man yasyaa" (Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya).
Pada ayat ini Allah Swt. menerangkan kepada kita tentang masalah hati, khususnya tentang masalah masuk atau tidaknya hidayah Allah kepada hati seorang manusia. Ketika seseorang mendapatkan hidayah dari Allah Swt. maupun tetap berada pada kesesatan, hal bukan berada dalam kekuasaan manusia, akan tetapi semata-mata hak prerogatif Allah Swt.
Sampai-sampai manusia yang paling mulia sekalipun, yang dalam hal ini adalah Rasulullah Saw. tidak mempunyai wewenang untuk memberikan hidayah kepada manusia.
Yang dimaksud hidayah di sini adalah hidayatut taufiq (petunjuk yang bisa menjadikan seseorang beriman kepada Allah Swt.), bukan hidayah yang artinya al-irsyad wal bayan (memberikan penjelasan tentang Islam).
Hidayah yang artinya adalah memberikan penjelasan tentang Islam kepada orang lain, hal itu dimiliki oleh Rasulullah Saw., sebagaimana juga kita memilikinya.
Pemahaman yang benar tentang masalah hidayah ini penting, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahaminya. Kalau kita salah dalam memahaminya, mungkin kita menyangka bahwa ada kontradiksi (ta’arud) antara ayat ini dengan ayat yang lain yaitu ketika Allah Swt. berfirman,
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS Asy-Syura: 52).
Jika pada ayat di atas Al-Qur`an menegaskan bahwa Rasulullah Saw. (dan umat Islam semuanya) bisa memberikan hidayah kepada seseorang, pada ayat yang lain Allah menegaskan bahwa manusia tidak bisa memberikan hidaya, sebagainya yang terdapat pada firman Allah,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS 28 : Al-Qashash: 56).
Orang yang tidak memahami arti hidayah akan menyangka bahwa dalam Al-Qur`an ada kontradiksi antara ayat-ayatnya, karena pada QS Asy-Syura ayat 52 mengatakan, “Wa innaka latahdii ilaa shiroothil mustaqiim” (Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus), sedangkan pada ayat 272 QS Al-Baqarah, Allah menerangkan bahwa Rasulullah tidak bisa memberikan hidayah.
Perlu kita pahami bahwa hidayah yang Allah nafikan dari Rasulullah Saw. adalah hidayatut taufiq, yaitu hidayah yang menyebabkan seseorang beriman kepada Allah Swt.
" Hidayatut taufiq ini semata-mata milik Allah Swt. saja "
Jika ada orang yang suka berbuat maksiat kemudian mendapatkan hidayah sehingga ia tidak lagi berbuat maksiat, hanyalah Allah yang bisa memberinya hidayah seperti itu. Ini tidak bisa dilakukan oleh manusia sebagai seorang hamba, sekalipun ia hamba yang paling mulia seperti Rasulullah Saw., karena itu hanya dimiliki oleh Allah Swt.
Oleh karena itu hanya kepada Allah-lah manusia seharusnya mohon hidayah. Dan agar mendapatkan hidayah dari Allah Swt., setiap Muslim harus benar-benar siap untuk ber-talaqi (menerima petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan ajaran Allah) hanya dari Allah Swt. saja.
Jika seorang Muslim yang sekaligus juga seorang da’i telah memahami bahwa hidayah semata-mata dari Allah Swt., maka dalam dakwahnya ia tidak akan tertimpa dzikush shadr (merasa sempit dada) jika dakwah yang dilaksanakan menemui banyak rintangan.
Sebaliknya, ketika dakwah yang disampaikannya mendapatkan sambutan yang antusias dari masyarakat, maka ia pun tidak akan ghurur (tertipu) dengan keberhasilannya itu.
Ketika setiap da’i memahami bahwa hidayah hanya ditangan Allah Swt., baik ketika orang yang didakwahi mendapatkan hidayah dengan menerima dakwahnya atau tidak mau menerima dakwahnya, ia akan tetap melaksanakan dakwahnya, karena ia paham bahwa dakwah itu sendiri merupakan ibadah, terlepas apakah obyek yang didakwahi mendapatkan hidayah atau tidak.
Jadi saudara-saudara kita sesama Muslim atau pun yang non-Muslim yang kita dakwahi adalah aset pahala yang tidak boleh kita musuhi. Kalau obsesi kita dalam berdakwah adalah agar orang yang kita dakwahi harus beriman,
Ketika ternyata mereka tidak mendapatkan hidayah sehingga tetap kufur dan tetap berbuat maksiat, maka hati kita pasti merasakan sesuatu yang tidak enak dalam dada kita. Oleh karena itu Allah Swt. pernah mengingatkan Rasulullah Saw. yang sedih karena dakwahnya yang kurang mendapat sambutan. Allah Swt. berfirman,
“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman” (QS Asy-Syu’ara: 3).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang isnad-nya berasal dari Ibnu Abbas Ra. dari Nabi Saw., dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan untuk tidak memberikan shadaqah kepada orang-orang selain pemeluk Islam, sampai turunnya ayat ini.
Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah Saw. dan kaum Muslimin diperintahkan untuk memberikan shadaqah kepada setiap orang yang berhak menerimanya baik ia seorang Muslim maupun tidak.
Dari sini bisa kita lihat bahwa Islam tidak hanya melarang umatnya untuk memaksakan agama, lebih dari itu Allah Swt. memberikan toleransi kemanusiaan yang lebih besar lagi yaitu kepedulian Islam kepada seluruh umat manusia dan tidak hanya kepada umat Islam saja.
Pada ayat ini kita diperintahkan untuk memberikan shadaqah kepada siapa pun yang membutuhkannya. Ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan kepada kita toleransi yang besar, sepanjang orang tersebut tidak memerangi Islam.
Jadi, pada ayat ini Allah memberikan sebuah dasar prinsip kemanusiaan dalam Islam, sebagaimana sababun nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini, dimana sebelum ayat ini turun Rasulullah Saw. memerintahkan kepada para shahabatnya agar tidak memberikan shadaqah kepada orang non-Muslim, akan tetapi kemudian mendapat teguran dari Allah Swt. dengan turunnya ayat ini.
Pemahaman seperti ini perlu ditekankan pada masyarakat kita, karena sebagian masyarakat kita khususnya orang non-Muslim mempunyai persangkaan yang salah tentang Islam, sehingga mereka takut kalau Islam mendapatkan kemenangan dari Allah Swt., mereka akan diterlantarkan atau bahkan takut diusir.
Padahal ketakutan mereka itu tidak pernah terjadi di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Siapa pun yang memerlukan bantuan, Islam akan membantunya sepanjang orang itu tidak memusuhi Islam.
Kita sebagai seorang Muslim harus juga memperhatikan ayat ini, agar kita tidak terjatuh pada sikap ekstrim. Di satu sisi ada seorang Muslim yang memahami wala’ wal bara’ (loyalitas dan antipati) secara berlebihan sehingga tidak mau memberikan pertolongan kepada non-Muslim yang memerlukan bantuan.
Di sisi lain ada juga orang yang ekstrim karena dengan alasan kemanusiaan yang berlebihan, dia tetap bergaul bersama orang-orang non-Muslim yang mengancam dan memerangi Islam. Dengan memahami ayat ini secara benar, insyaAllah kita tidak akan terjatuh pada salah satu diantara dua sikap ekstrim itu.
Selanjutnya Allah mengatakan, “Wama tunfiqu min khairin fali-anfusikum” (Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka pahalanya untuk kamu sendiri).
Artinya, ketika seorang Muslim taat kepada Allah dengan berinfaq fii sabiilillah, hal itu bukan untuk menambah kekuasaan Allah akan tetapi untuk kebaikan kita sendiri. Allah mengatakan, “Wama tunfiquuna illabtighaa-a wajhillah” (Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah).
Allah menutup ayat ini dengan mengatakan, “Wama tunfiqu min khairin yuwaffa ilaikum wa antum laa tuzhlamuun” (Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya).
Ketika umat Islam berinfaq, itu harus benar-benar karena Allah Swt. Dan jika demikian, Allah pasti akan membalasnya. Jadi ketika berinfaq, jangan sampai berinfaq karena kepentingan politik, karena Allah tidak akan memberikan pahala baginya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Al-Insaanu Sirriy,, wa Ana SirroHu (Manusia itu Rahasia-Ku dan Aku menjadi Rahasianya)”.