Jumat, 31 Maret 2017

MENGGALI MAKNA KUN FAYAKUN





Ayat di atas adalah QS Al-Baqarah ayat 117. Artinya kira-kira begini, “Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya, ‘Jadilah!’ maka jadilah ia.”

Frase “kun fayakun” adalah sebuah frase yang sudah sedemikian akrab di telinga kita. Saking akrabnya, sudah jadi klise. Hampir semua orang mengetahui artinya sebagai “Jadi! Maka, jadilah.” Berulang kali saya baca ayat ini sambil berpikir, “Sesederhana itukah?”

Dalam Bahasa Arab, setiap kata kerja dapat dinyatakan dalam bentuk perfect/past, yaitu fi’l madhiy, bentuk imperfect/present-future, yaitu fi’l mudhari’, atau bentuk imperative, yaitu fi’l amr. Kata kerja kun dan yakunu dalam “kun fayakun” berturut-turut mengambil bentuk fi’l amr dan fi’l mudhari’. Dengan begini, pemaknaan yang lebih tepat bukan “Jadi! Maka, terjadilah,” melainkan “Jadi! Maka, terus dan/atau akan terjadilah.”

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa hanya “Kun!”-lah yang perlu Allah firmankan ketika ia ingin menetapkan suatu urusan. Segera setelah (karena di ayat tersebut digunakan fa) Allah berfirman “Kun!” maka urusan yang Dia tetapkan pun terus dan/atau akan terjadi (karena digunakan kata yakunu, bukan sekedar kana). Ini mengindikasikan bahwa satu-satunya sifat dasar tindak penciptaan yang Allah lakukan adalah otomasi. Programkan sekali, seterusnya akan jalan sendiri. Subhanallah.
Allah tidak menggunakan frase “kun fakana” yang bermakna “Jadi! Maka jadilah.” Mengapa? Karena jika disebut “fakana” maka ini menunjukkan bahwa urusan yang Allah tetapkan itu telah rampung terjadi dan tidak sedang berlangsung lagi pada hari ini. Penggunaan “fakana” akan melumpuhkan Al-Quran ketika dihadapkan pada pertanyaan, “Mengapa Allah tidak menciptakan segalanya langsung sempurna?” “Mengapa Allah menciptakan alam semesta secara berangsur-angsur seolah-olah Ia sedang mencoba menyembunyikan eksistensiNya?” “Tuhan macam apa yang mengaku diriNya Mahakuasa namun untuk menciptakan mikroorganisme bersel satu saja butuh waktu jutaan tahun sebagaimana yang kita dapati dari bukti-bukti geologis dan paleontologis?”

Pertanyaan-pertanyaan logis semacam inilah yang gagal dijawab oleh konsepsi “Tuhan omnipotent, omnipresent, dan omniscient.” Untungnya, Al-Quran tidak sepenuhnya sejalan dengan konsep prematur ini. Al-Quran bisa lolos dari jebakan pertanyaan-pertanyaan di atas simply karena Al-Quran mengabarkan kepada kita bahwa sistematika penciptaan oleh Allah adalah “kun fayakun” bukan “kun fakana”.

Dalam frase “kun fayakun” terkandung indikasi kuat bahwa urusan-urusan yang Allah tetapkan itu terus berjalan bahkan jauh setelah Allah tetapkan untuk pertama kalinya. Dalam frase “kun fayakun” terdapat petunjuk kuat tentang adanya otomasi sebagai karakteristik dasar dari segala urusan yang Allah tetapkan. Inilah sebabnya mengapa Allah senantiasa mengarahkan perhatian kita kepada proses terjadinya, dan bukan sekedar adanya, ciptaan-ciptaan sebagai bukti keberadaan diriNya.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Dalam QS Ali ‘Imran ayat 190 di atas, Allah menyebut “penciptaan langit dan bumi” bukan sekedar “langit dan bumi”. Allah menyebut “silih bergantinya malam dan siang” bukan sekedar “malam dan siang”. Mengapa? Karena keberadaan sesuatu saja tidak cukup menjadi bukti keberadaan penciptanya sebagaimana keberadaan genangan air di tengah jalan tidak cukup menjadi bukti bahwa seseorang telah menumpahkannya dengan sengaja di sana. Akan tetapi, proses yang berjalan otomatislah yang menjadi bukti nyata keberadaan pencipta sebagaimana semburan air mancur di tengah taman yang terus memancar secara otomatis merupakan bukti nyata adanya perancang atau pencipta air mancur tersebut meskipun kita tidak harus selalu melihatnya disana.

“Baiklah, jika adanya proses otomatis di alam semesta merupakan bukti keberadaan Pencipta, maka siapakah yang menciptakan Pencipta?” Pertanyaan ini akan sangat mudah kita jawab seperti ini:
“Allah Sang Pencipta tidak diciptakan oleh siapapun karena Dia tidak berproses. Sebagaimana keberadaan proses otomatis merupakan bukti adanya pencipta, maka ketiadaan proses pun merupakan indikasi ketiadaan pencipta. Allah ada dengan sendirinya tanpa proses. Dia melampaui segala ciptaanNya. Oleh karena itu, Dia tidak tunduk pada hukum-hukum dan logika-logika yang mengikat ciptaanNya. Setiap level eksistensi memiliki hukum-hukumnya masing-masing. Eksistensi di level subatomik tidak akan tunduk pada hukum-hukum mekanika klasik. Eksistensi di level makrokosmik tidak akan tunduk pada hukum-hukum mekanika kuantum. Maka, harusnya bukan hal yang kontradiktif bila Allah tidak tunduk pada kausalitas dan kronologi. Sederhana, bukan?”
“Kun fayakun” bukanlah mantra ajaib yang memberi hak kepada kita untuk memaksa Allah membengkokkan ketetapanNya demi keuntungan kita. “Kun fayakun” adalah manifesto kesempurnaan ketetapan Allah yang menjadi kerangka bagi kita untuk terus berupaya meraih keberuntungan di dunia dan akhirat dengan ikhtiar kita sendiri.