Jumat, 04 Januari 2019

DUA KALIMAT SYAHADAT (BAGIAN 1)


Usai Ibadah Jumat masyarakat menggiring mbah Qodim menuju warung mak Narti, kerinduan akan beberapa waktu tak bertemu orang tua ini menjadikan warga ingin berlama-lama mendengar suara mbah Qodim yang sering dijadikan bahan ketenangan jiwa oleh warga Desa Suka Damai.

Seperti biasa kopi dan gorenganpun akhirnya memenuhi meja dimana warga ngariung mengelilingi mbah Qodim, mak Nartipun sempat mengintip mbah Qodim dari dapur warungnya seraya menitikkan air mata.

“Mbah, walau mbah tidak pamit kemarin-kemarin tapi hutang dedar DUA KALIMAT SYAHADAT tetap kami nantikan, tetapi karena kami tahu bahwa mbah pergi ke Lampung Selatan, disitu kami tahan hutang mbah kepada kami, doa dan rasa cemas menunggu kabar dari mbah membuat kami kangen sama mbah, padahal banyak fenomena alam yang kami tunggu maknanya dari bibir mbah, mulai dari dua satu dua di Monas sampai, mubahalah tujuh turunan sampai banyaknya bencana alam akhir-akhir ini”. Pak RW mulai membuka obrolan santai takkala mbah Qodim mulai menyeruput kopinya.

Mbah Qodim “Bapak-bapak sekalian terima kasih atas perhatiannya, bersyukur saat ini mbah sudah bisa ngopi lagi di Desa kita ini”.

Pak RT “Wah, Alhamdulillah bisa kita mulai nih mbah”.

Mbah Qodim tersenyum ringan “Mulai darimana pak RT hehehe”

Pak RT “Dari dua satu dua mbah!”

Mbah Qodim “Apanya yang harus dibuka lagi wong sudah lewat kan? Aman dan tertib”.

Pak RT malah cengengesan “Ya dimaknai dong mbah?”

Mbah Qodim “Sebelum mbah bercerita kosong nanti, jangan sampai ada presepsi apapun yang berbau politik, maka walau nanti akan ada beberapa kode angka jangan dipolitisir, yang jelas peristiwa Monas itu merupakan salah satu dari fenomena alam bapak-bapak, kesempurnaan dari isyarah hati yang paling dalam, dan di taqdirkan memakai angka dua satu dua, yaa mungkin dua mata dan dua telinga nampaknya mulai tidak singkron dengan satu mulut!”

Pak RW “Maksudnya mbah?”

Mbah Qodim memandang pisang goreng di tangannya “Apa yang di lihat dan apa yang di dengar dari satu mulut memiliki perbedaan yang sangat berbeda, ini mengapa Allah SWT menggerakkan hambanya membentuk fenomena dua satu dua”.

“Lalu Mbah?” pak RT membenahi tempat duduknya, walau sebenarnya ia sudah bagus dalam posisi duduknya, ini menunjukkan pak RT sedang ingin penegasan ulang dalam kalimat yang lain.

Mbah Qodim “Yaa ibarat wajah ada dua mata, dua telinga dan satu mulut, kejadian dua satu dua belum menjadikan 100 persen dimengerti bila tidak ada dua lubang hidung sebagai indera pengendus.”

Pak RW garuk-garuk kepala “Jadi sepertinya berkembang hoak ya mbah, menimbulkan kegaduhan kerumunan orang, bila tiba-tiba mencium bau yang tidak sedap maka kerumunan itu akan saling menuduh?”

Mbah Qodim memakan pisang goreng di tangannya, “Itu bila dikerumunan pak RW, namun bila ini adalah sebuah wajah, katakanlah ada bau busuk yang selalu keluar dari mulut kita saat berbicara walaupun mulut saat itu sedang berkata-kata indah dan manis, tentunya kedua mata dan kedua telinga tidak bisa mengerti adanya bau busuk tersebut maka perlulah hidung ikut serta memunculkan diri, kaarena dari hidung itulah kita bisa intropeksi diri.”

Pak RW sedikit tegang “Jadi seharusnya kita juga merasakan aroma mulut kita mbah, bukan hanya untuk ngoceh saja!”

Mbah Qodim “Itu bila seseorang itu ingin dirinya tetap pada kebaikan.”

“Lalu mbah, hidung disini siapa?” pak RT sedikit mengenyitkan dahinya

Mbah Qodim menunduk “Hidung itulah fenomena bencana alam yang sering terjadi bapak-bapak, sebuah indera yang berguna untuk membimbing kita agar segera membersihkan apa-apa yang menjadi penyebab bau mulut kita.”

Wargapun bersama-sama beristighfar, ‘Astaghfirullahal adzim’.

Mbah Qodim “Sudah sampai sini saja dua satu dua, mengenai mubahalah bila itu sendiri mungkin bisa ada tindak lanjutnya, namun bila sudah membawa anak keturunan tentunya Allah SWT akan membatasi itu, karena dosa orang tua tidak lazim ditimpahkan kepada anak cucu, inipun mbah anggap segitu aja, semuanya bapak-bapak fikirkan sendiri”.

“Lalu mengapa mbah ke Lampung Selatan?” Tanya pak RT

Mbah Qodim memejamkan matanya sesaat “Ingin melihat dan mendapatkan jawaban langsung dari Sang Maha Pencipta bapak-bapak”.

Pak RW mulai sedikit hati-hati bertanya “Saat terjadi tsunami mbah dimana?”

Mbah Qodim memandang wajah-wajah orang-orang di sekelilingnya, kemudian melirik mak Narti yang memandanginya dari dapur “Mbah ada di sebuah pulau pinggir pantai, mbah menanti kode dua mata dan dua telinga artinya tanggal dua-dua di bulan dua belas, anggap saja dua-dua – satu – dua.”

Wargapun terkejut dengan jawaban mbah Qodim.

Sambil menunduk mbah Qodim kembali berucap “Mbah seusai sholat Isya memandangi lautan yang sejuk, tak kala pukul 21.27 Wib Tsunami datang, mbah langsung ingat guru mbah, Syajaratul Yaqin, maka yang mbah lakukan adalah memanjat sebuah pohon di sisi kanan mbah, ya sebuah pohon/syajarah untuk membuat hati mbah yaqin, dari pohon tersebut mbah saksikan langsung bagaimana Allah SWT menunjukkan Sirr-Nya, dan dari sana mbah lihat ada sebuah pondokan sederhana, terdapat seorang tua memakai peci usang berbaju hitam tampak juga melihat kejadian tersebut, setelah reda mbah mendekati pondokan tersebut dan mbahpun diajak beliau masuk ke pondokan beliau, Subhan Allah, di dalam pondokan sederhana itu terdapat sekumpulan ibu-ibu yang rajin pengajian dan Yasin-an, merekalah yang terselamatkan dari terjangan Tsunami, namun untuk menjelaskan siapa mereka mbah tidak tahu pasti, karena itu merupakan manusia asli atau hanya isyarat itu belum mbah ketahui, namun yang baru mbah sentuh adalah keselamatan bangsa ini saat ini terletak pada wanita-wanita yang sholihah dan kehancuran bangsa ini mungkin juga karena kebobrokan akhlak wanita-wanitanya, namun setidak-tidaknya POWER OF EMAK-EMAK sangat diperlukan oleh kita semua sehingga tercipta generasi wanita sholihah, taat pada agama dan meninggalkan gemerlapnya dunia”.

Pak RT dan pak RW menangis “Lalu bapak-bapak seperti kami ini bagaimana mbah?”

Mbah Qodim “Bukankah tadi mbah katakan mereka belajar dan menuntut ilmu dari seorang tua berpeci lusuh memiliki pondokan tempat mengaji, jadi bapak-bapak mulailah ajak istri dan anak-anak untuk menimba ilmu agama serta lakukan amalan-amalan sholeh”.

Suara obrolan terhenti tak kala terdengar isakan tangis mak Narti yang berlari sambil membenahi jilbabnya yang terlihat sedikit miring.

Mbah Qodim berdiri pamit namun tangan pak RW memegangnya “Lalu apa makna jam kejadian mbah pukul 21.27 ?”

Mbah Qodim memegang genggaman pak RW “Mungkin saja pada saat dua satu dua yang lalu ada sebuah doa yang terdorong oleh jutaan doa lainnya sehingga tembus ke LANGIT TUJUH!!!, dan kita tidak tahu doa apa yang dipanjatkan, semua akan terus terendus dari gelagat alam selanjutnya untuk menembus dinding masalah yang ada di negara ini”.