Malam 1 Muharram sejumlah warga berkumpul di Mushola Al Latif untuk berdzikir dan bersholawat bersama, sholat sunnah tasbih serta sholat sunnah hajad.
Usai kegiatan para jamaah berkumpul di teras Musolla sembari menikmati jajanan pasar, tampak sekali wajah jamaah sumringah.
Pak RW “Eh mbah … ini kami mau tanya nih, tahun baru Islam ini kok dulu di Indonesia dikenal sebagai bulan yang tepat untuk mencuci benda-benda pusaka dan dikenal dengan nama bulan SURO ketimbang Tahun Baru Islam?”
Mbah Qodim “Enggeh bapak-bapak sekalian, demikianlah dulu lazimnya di Negara kita ini, tetapi dengan seiring kemajuan tehnologi kususnya pada media informasi semakin terkuaklah pelajaran-pelajaran agama Mulya kita ini”.
Pak RT "Terus gimana tuh mbah dengan kebiasaan leluhur kita yang melakukan ritual tapa brata, pencucian keris, atau benda-benda pusaka ataupun azimat lainnya apakah kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Rosululloh SAW, kok dahulu leluhur kita banyak yang melakukan itu semua?”.
Mbah Qodim terlihat sampai memejamkan matanya saat lambang sari masuk ke mulutnya, empuk dan nikmat “Bapak-bapak semua, pengetahuan yang kita pelajari hanyalah butiran tetes air dari Samudera luasnya Ilmu-ilmu Allah SWT, keterbatasan kita mengenal lebih dekat tentang Rahasia Allah masihlah minim, apalagi untuk menguak perjalanan agung dan budi pekerti yang luhur dari Junjungan kita, kita sering kali terjebak oleh kesalahan IBLIS yang terusir dari Syurga hanya karena kalimat ANA KHOIRU(N)MINHU aku lebih baik dari dia (Nabi Adam AS) sehingga Iblis melakukan pembangkangan terhadap Allah SWT, keterbatasan pustaka ilmu yang ada pada diri kita membuat bahasa BAHWA KITA SENDIRILAH YANG PALING BENAR DAN PALING SESUAI DENGAN PETUNJUK ALLAH SWT sehingga kita terkadang mudah menyalahkan prilaku orang-orang di sekitarnya, haram, bidah dan lain sebagainya sebagai ungkapan menilai prilaku orang, nah bila ana khoiru(n)minhu saja menggelincirkan Iblis dari syurga lalu bagaimana dengan kita yang belum mencium bau syurga sekalipun?”
Pak RT “Itu mengapa setelah kami ikut belajar bersama mbah kami jadi hati-hati untuk menilai sesuatu mbah? Sudilah kiranya mbah memberikan gambaran kenapa hal-hal tersebut bisa terjadi?”
Mbah Qodim “Dahulu leluhur kita melakukan sesuatu PASTI ada sumber ajarannya, namun dengan terputusnya sanad mengakibatkan banyak yang melakukan namun tanpa tahu dasar dalilnya, lebih lagi ke zaman sekarang semakin menjadi topik perbedaan, semua merasa saling menilai apa yang mereka pelajari adalah yang paling benar, hmmm padahal agama mulya ini ROHMATAN LIL ‘ALAMIN, di dalam perjalanan syi’ar Rosullullah yang dihiasi oleh banyaknya peperangan, Muharram terpilih sebagai bulan yang di Mulyakan oleh Allah SWT, bahkan pada Bulan ini saat itu para Muslimin di HARAMKAN untuk berperang selama satu bulan penuh dan di bulan lainnya diperbolehkan untuk angkat senjata bahkan di bulan Ramadhan sekalipun, leluhur kita mengenal kata Suro yang berasal dari sebutan di tanggal 10, yaitu hari As-Syura, mungkin saja SURO lebih cepat mereka ingat dari pada Asy Suro sehingga kata suro lebih terkenal di kalangan leluhur kita”.
Pak RW “Terus kok digunakan untuk nyuci pusaka dan tapa brata mbah?”
Mbah Qodim “Hmmm dikarenakan satu bulan penuh itu tidak ada perang maka maka para sahabat dan muslimin pada zaman itu memanfaatkannya waktu yang ada untuk lebih mengkusyukan ibadah mereka yang tersita karena peperangan lalu leluhur kita mengaplikasikannya dengan tapa brata, lebih khusuk mengheningkan cipta di bulan ini, pada bulan ini juga para sahabat dan muslimin memanfaatkan waktu yang ada untuk membersihkan, mendandani dan mengasah serta memberikan perawatam ekstra lebih untuk pedang dan tombak mereka, semua bertujuan agar bulan esoknya senjata mereka siap di gunakan kembali untuk berperang, nah mungkin karena para ulama dahulu tidak detil menerangkan hal tersebut maka leluhur kita yang melakukan hal tersebutpun tidak menjelaskan secara rinci kegiatan tersebut, yang terjadi sekarang ini deh hehehhe banyak yang bilang bulan untuk nyuci keris hehhee”.
Wargapun mantuk mantuk sambil berusaha ikut tersenyum
Pak RT “Jadi boleh nih mbah nyuci keris pada bulan ini?”
Mbah Qodim “Ya monggo-monggo saja pak RT, jangankan nyuci keris, nyuci mobil juga boleh hehhee asal punya sendiri ya, namun waspadai jangan lakukan kegiatan yang mengandung dosa syirik, bila tentara meminyaki senjatanya dengan tujuan agar senjata tidak macet saat digunakan itu sah-sah saja dan jangan berpendapat bahwa senjata itu adalah sumber utama kesamatannya hingga ia meminyakinya, demikian juga dengan keris, minyaki untuk menjaga nilai-nilai sejarah kebudayaan bangsa Indonesia agar keris itu tetap awet dan bukan karena takut mendapat bencana karena tidak memberi makan penunggu keris!”.
Pak RW “Lalu bagaimana dengan budaya leluhur kita yang membuat bubur keselamatan mbah?”
Mbah Qodim “Dahulu perahu Nabi NUH AS beserta umatnya selamat bersandar di gunung Ararat setelah beberapa lama terombang ambing dalam bahtera air bah tepat di tanggal 10 bulan Muharram, saat turun Nabi Nuh AS memeriksa sisa bahan makanan yang tersisa, dari sisa-sisa itulah semuanya di masak menjadi satu adonan, ya itu karena bahan makanan tinggal sedikit-dikit, maka saat memasaknya dicampur jadi satu jadilah seperti bubur, makanan tersebut lalu dimakan bersama dengan sebelumnya memanjatkan doa-doa sebagai ungkapan syukur atas lindungan Allah SWT, inilah yang mungkin dilakukan leluhur kita tanpa sempat terkuak rahasia pelajarannya sehingga dinilai sebagai sebuah kebudayaan yang sebenarnya ada benang penyambung pada kisah kisah Rasulullah-rosulullah terdahulu namun kita hilang peta arah jiwa sehingga sering kali langsung memvonis MEREKA TELAH TERSESAT DAN JAUH DARI TUNTUNAN AGAMA …maka mari kita semua kembali kepada Islam yang Rohmatan lil’alamin … Islam yang terus menggali sumber dari dalil Al Quran dan Al Hadist sehingga kita semua ISLAM/SELAMAT dunia dan akhirat… hindari ANA KHOIRU(N) MINKUM (aku lebih baik daripada kalian) jika kita ingin terus belajar dan belajar menggapai ridho Illahi Robbi”
“Selamat TAHUN BARU ISLAM 1440 H ...sahabat-sahabat SSL, KULLU ‘AM WA ANTUM BIKHOIR"