Rabu, 05 September 2018

HAJI (Bagian 4)


Suasana di warung mak Narti siang terik ini sangatlah meneduhkan hati para pelanggannya seusai gugur gunung di Desa Sukadamai, warga duduk-duduk sambil ngipas-ngipas diri masing-masing menggunakan alat seadanya, Pak RT pun berteriak “Maaaak cepat buatkan Es teh, mbah Qodim es Kopi!!” dari dapur warung terdengar sahutan mak Narti “Iya iya bapak-bapak sabar toh”.

10 menit berikutnya mak Narti membawa nampan penuh berisi gelas es teh dan 1 gelas es kopi, wajah warga menjadi fokus ke arah mak Narti, yah penampilan mak Narti kali ini berbeda, bukan karena apa-apa namun ternyata mak Narti yang selama ini mereka kenal ketus dan cuek kini berjalan anggun dengan busana muslimah, terlihat jilbab sederhana ia kenakan.

Sambil melongo pak RW mendesis “Alhamdulillah”. Sepertinya beberapa wargapun mendesiskan ucapan yang sama. Sambil membagikan gelas-gelas berisi es teh mak Narti telihat tersipu malu, takut ada yang meledeknya, benar saja akhirnya terdengar suara pak RT “Wah penampilan baru nih mak, Alhamdulillah” Mak Nartipun melemparkan senyumnya “Iya pak, hasil nguping pembicaraan bapak-bapak sekalian” pak RWpun berdecak kagum “Subhan Allah … Mak Narti yang sembunyi-sembunyi nguping saja bisa mendapatkan hidayah, semoga kita semua demikian pula, Aamiin”. Wargapun berdoa “Aamiin”.

Pak RT mulai meminum es teh miliknya sambil berpesan “Eh mak, jangan lupa nanti hatinya juga di JILBABPIN biar sempurna”. Mak Nartipun melengos sambil menahan malu, semua warga tersenyum melihat tingkah canggung mak Narti. Tiba-tiba pak RW menjawab “Pak RT jilbab itu untuk kepala, bukan untuk hati, tauuuu!!!” Wargapun tertawa cekikikan, mendengar itu pak RT menjawab ketus “Inikan bahasa kiasan pak RW”. Pak RW langsung menjawab “Iya tetapi jangan pakai kiasan itu, hati kok di jilbabpin hehehhe”.

Pak RT garuk-garuk kepala “Wealah ngomong gitu aja kok langsung dipatahin toh pak RW, salah dikit yo dimaklumi dong (sambil menengok mbah Qodim yang ikut tersenyum) mbaaaah, lazim gak sih saya ngomong bahasa tadi?”

Mbah Qodim yang saat itu tersenyum-senyum geli agak tersedak juga saat tiba-tiba mendapatkan pertanyaan seperti itu, terlihat dahinya berkerut, tampak sekali bahwa mbah Qodim terbiasa berhati-hati dalam menjawab sesuatu, walau sebuah pertanyaan sekalipun berbentuk hal yang sepele, “Memang kita sering mendengar kalimat atau kata-kata lazim bapak-bapak, namun intinya itu adalah sebuah kalimat yang memudahkan bagaimana otak kita menerimanya”.

Pak RT “Jadi sah-sah saja kan mbah?”

Pak RW “Ya cari bahasa lain pak RT!!”

Mbah Qodim tersenyum “Sudah…sudah hal sepele kok di permasalahkan, Jilbab untuk jasmani itu wajib bagi kaum Hawa yang sudah aqil baligh dan tidak ada salahnya tingkah laku kita juga mencerminkan bagaimana akhlak seorang muslimah, yah anggap saja jilbabin hati, kalimat/kata lazim sebenarnya banyak kita gunakan, contoh MEMANJATKAN doa, bagaimana doa itu manjat, jiwanya TERSENTUH oleh tragedi menyedihkan yang ia lihat, cinta mereka dipersatukan oleh CAMPUR TANGAN Allah Tuhan Yang Maha Penyayang, bahkan ada film yang berjudul KETIKA CINTA BERTASBIH, masih banyak kata-kata lainnya bapak-bapak, bahkan dalam Al Quran pun Allah berfirman di beberapa ayat menggunakan bahasa lazim yang bertujuan agar hamba-Nya mengerti, contoh Allah lah yang MEMBOLAK-BALIKKAN hati, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya, disana Allah memakai kalimat lazim yang dimengerti oleh manusia, jika kita telaah kalimat Allah Maha mendengar bukan berarti Allah kita gambarkan punya telinga seperti kita namun penegasan bahwa doa-doa kita sampai kepada NYA”.

Pak RW “Lalu bagaimana dengan melazimkan bahasa tawaf hati mbah?”

Mbah Qodim “Yah mungkin bahasanya ia ingin memaknai Tawaf untuk realisasi hatinya pak RW, mungkin maksudnya adalah mentawafkan fikirannya, agar hati yang memiliki 4 bilik yang bisa selalu terkelilingi oleh kalimat-kalimat dzikir”.

Pak RW “Tidak takut nih mbah kalau apa-apa yang mbah omongkan ini bertentangan dengan Al Quran dan hadist?”

Mbah Qodim menghela nafasnya “Pada waktu lalu mbah memaknai agar kita meralisasikan ibadah Haji saat SA’I dengan makna agar- kita cepat-cepat bersegera menolong tetangga yang sedang dalam kesusahan, nah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan Al Quran dan Hadist maka jangan lakukan hal tersebut, namun jika memang ada perintah tentang bersegera menolong orang yang sedang dalam kesusahan baik dalam Al Quran dan Hadist maka jalankan makna tersebut, jangan cepat melepaskan kata-kata dari bibir kita laksana kilat bapak-bapak, tawafkan dulu agar ucapan kita bisa tetap teduh dan menjaga ukuwwah, ingat semua ucapan kita itu tercatat sampai kelak pada yaumil hisab”.

Pak RT “Oh iya mbah, kemarin kan mbah nyinggung tentang melontar jumroh, itu gimana mbah agar bisa kita teladani pada prilaku sehari-harinya?”

Mbah Qodim “Melontar jumroh itu diambil dari sejarah bagaimana Nabi Ibrahim AS menerima wahyu untuk menyembelih putranya, lalu setan menggodanya, dan saat itu Nabiyullah Ibrahim AS mengambil 7 kerikil lalu melemparnya …. Ini dikenal sebagai melempar Jumroh Ula, lalu syetan berlari menuju Hajar namun lagi-lagi mendapatkan lemparan kerikil ini yang dinamakan melempar Jumroh Wustho … dan terakhir menggoda iman Nabi Ismail AS yang saat itu dianggap rapuh, lalu terjadilah lemparan bersama-sama satu keluarga yang dikenal dengan Lontar Jumroh Aqobah … mankanya dalam sehari hari bahwa kita harus menunjukkan perlawanan kepada bujuk rayu syetan, dan jaga anak-anak kita yang masih rapuh keimanannya dengan terus memberikan pelajaran tentang agama”.

Pak RW “Lalu kenapa tidak dengan batu sekepel mbah, kok hanya dengan kerikil?”

Mbah Qodim “Selain karena sejarah yang sudah dicontohkan oleh keluarga Nabi Ibrahim AS, sepertinya Allah SWT memang sudah menyiapkan scenario kusus, bisa saja saat itu Nabi Ibrahim AS mengambil batu besar, namun karena ke MAHA sempurnaan Allah lah maka scenario Nya menjadi indah, bayangkan bila ibadah haji lempar jumroh dengan menggunakan 21 batu sekepel tangan, bisa bisa bukan tiang jumroh yang dilempar, tetapi bisa berbahaya bagi hamba-hamba Allah yang sedang melontar jumroh dibarisan depan, namun dari sejarah tersebut kita maknai dengan bentuk perlawanan kepada bujuk rayu syetan”.

Pak RW “Tapi tiang Juroh itukan besar mbah?”

Mbah Qodim “Yah bapak-bapak sekalian, syetan … Iblis itu digambarkan bagaikan tiang kokoh, ia tidak akan terpengaruh oleh lemparan kerikil, itu semua karena Skenario Allah SWT … hari ini di lawan besok mereka akan menggoda lagi, hari ini di lempar, besok mereka akan datang lagi, hari ini gagal maka besok mereka akan berusaha lagi, itulah gambaran kekokohan tiang Jumroh, gambaran Taqdir betapa Iblis dan Syetan akan menggoda kita sampai kiamat, nah kita sebagai manusia .. sebagai hamba Nya … adalah MELAWAN godaan tersebut walaupun dinilai sepele mungkin usahanya, namun titik beratnya adalah SIKAP PERLAWANAN kepada iblis dan syetan … karena mereka INNAHU LAKUM ADUWWU(N)MUBIIN … sesungguhnya mereka adalah MUSUH yang NYATA … “.

Semua warga mulai merenungi kata-kata mbah Qodim

Mbah Qodim “Mulailah menggali apa-apa yang disyariatkan kepada kita untuk direalisasikan sebagai bentuk tingkah laku, mulai dari Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat sampai ke Haji, mbah sampaikan disini dulu, lengkapi dengan belajar kembali melihat rukun haji ataupun kegiatan pendukung lainnya, lalu cerna apa yang bisa kita realisasikan sebagai wujud prilaku yang hasanah, In Syaa Allah … bapak-bapak akan terus meminum salju-salju hidayah Allah SWT”.

Pak RT “Kalau boleh tahu nih mbah, bagaimana sih ciri-ciri orang yang TERPANGGIL jiwa dan raganya untuk berhaji, karena kamipun merindukan ibadah tersebut, bukan hanya jasad ini namun jiwa kamipun ikut berhaji?”

Mbah Qodim “Mereka-mereka yang berprilaku seperti/laksana orang berhaji walau mereka SYARIATNYA belum berhaji, atau mbah bilang dengan istilah HAJIO sakdurunge HAJI”.

Pak RW “Lalu mbah … gimana ciri-ciri haji mabrur/mabruroh itu?”

Mbah Qodim menunduk “Wallahu a’lam …. Kita berdoa agar saudara-saudari kita mabrur/maburoh semuanya …  dan bila bapak-bapak melihat mereka-mereka yang berprilaku setiap harinya seperti orang berhaji sesudah pulang dari ibadah haji dekatilah mereka …. Mintalah doa dari mereka”.

Semua warga berteriak “Hajio sak uwese haji ya mbaaah!!”

Mbah Qodim tersenyum memandangi wajah-wajah warga “Mbah pamit nih bapak-bapak … besok-besok kita lanjutkan bagaimana prilaku syahadat, Sholat dan yang lainnya hehehhe … In Syaa Allah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar