Bismillahirrahmaanirrahiim
Setiap tanggal 1 Syawal seluruh umat Islam di Indonesia telah merayakan
Hari Idul Fithri dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Hari Raya
Idul Fitri merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses ibadah selama
bulan Ramadhan dimana dalam bulan tersebut kita melakukan ibadah Shaum
dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Penetapan Hari Raya Idul Fitri
oleh Rasulullah dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa
dilaksanakan orang-orang Madinah pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan
Hadits Rasulullah SAW yaitu :
“Jabir ra. Berkata : Rasulullah SAW datang ke Madinah sedangkan bagi
penduduk Madinah ada dua hari yang mereka (bermain-main padanya dan
merayakannya dengan berbagai permainan). Maka Rasulullah SAW bertanya :
“Apakah hari yang dua ini?” penduduk Madinah menjawab : “Adalah kami
dimasa jahiliyah bergembira ria padanya”. Kemudian Rasulullah SAW
bersabda : “Allah telah menukar dua hari ini dengan lebih baik, yaitu
Idul Adha dan Idul Fitri”. (HR Abu Daud).
Berdasarkan hadits di atas, kita lihat betapa pentingnya keberadaan Hari
Raya Idul Fitri bagi umat Islam oleh sebab itu penulis mencoba membahas
masalah Hakikat Idul Fitri menurut pandangan Ilmu Tasawuf.
Pengertian Idul Fitri
Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fitri dengan arti “kembali menjadi
suci”. Pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasulullah SAW yaitu :
“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah Shaum selama satu bulan penuh
dengan penuh keimanan kepada Allah maka apabila ia memasuki Idul Fitri
ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim
ibunya”. (HR Bukhari).
Menurut kami pendapat yang mengartikan Idul Fitri dengan “kembali
menjadi suci” tidak sepenuhnya benar karena kata “Fithri” apabila
diartikan dengan “Suci” tidaklah tepat. Sebab kata “Suci” dalam bahasa
Arabnya adalah “Al Qudus” atau “Subhana”. Jadi menurut penulis istilah
Idul Fitri dapat diartikan sebagai berikut : kata “Id” berarti “kembali”
sedangkan kata Fitri” berarti “Pencipta” atau “Ciptaan”.
Dalam bahasa Arab akar kata Fitri berasal dari kata Al Fathir yang bisa
berubah menjadi kata Al Fithrah, Al Fathrah atau Al Futhura, sebagai
contoh lihat ayat di bawah ini :
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)
dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS
Faathir 35 : 1).
Berdasarkan uraian di atas maka kami menyimpulkan bahwa kata “Idul Fitri” mempunyai minimal dua pengertian yaitu :
1. Kembali ke Pencipta
2. Kembali ke awal Penciptaan
Dua pengertian Idul Fitri yang dikemukakan oleh penulis seperti
tersebut di atas mungkin sangat asing dan juga mengherankan para
pembaca. Oleh sebab itu kami akan mencoba menjelaskan masalah tersebut
berdasarkan ayat-ayat dalam Al Qur’an.
IDul Fithri Sebagai Proses Ke awal Penciptaan.
Menurut ahli tasawuf hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan
utama yaitu jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia
diciptakan oleh Allah melalui
7 proses kejadian yaitu :
1. Sari pati tanah
2. Nutfah
3. Segumpal darah
4. Segumpal daging
5. Pertumbuhan tulang belulang
6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging
7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janian
Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami
jadikan sari pati itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat
yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dari
segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula
tulang-belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan
daging”. (QS Al Mu’minun 23 : 12 – 14).
“Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya
sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”. (QS As Sajadah 32 : 9).
Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
setiap manusia lahir atau diciptakan pasti akan melalui proses kejadian
bayi dalam kandungan yang mendapat tiupan Roh dari Allah (Roh-Ku).
Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi dapat diketahui fase-fase
perkembangan seorang bayi seorang bayi dalam kandungan dan juga keadaan
serta cirri-ciri dari bayi tersebut seperti gambar yang dapat dilihat di
halaman berikutnya.
Berdasarkan gambar-gambar tersebut dapat kita amati dan kita ketahui keadaan seorang bayi dalam kandungan yaitu :
1.Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (Amnion water atau kakang kawah).
Karena seorang bayi berada dalam air ketuban maka sembilan lubang yang
ada pada jasmamaninya secara otomatis tertutup dan tidak berfungsi.
Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua
lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, satu lubang kelamin.
Tetapi ada satu lubang yang ke sepuluh justru terbuka yaitu lubang
pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta
ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dari rahim
ibu kepada bayi tersebut. Dalam bahsa Jawa tali plasenta tersebut
dinamakan adik ari-ari.
2. Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada seorang bayi
dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi
belum berfungsi dengan kata lain bayi pada saat itu tidak bias melihat,
mendengar, berkata-kata, bernafas, serta tidak bias buang air besar
maupun air kecil. Tetapi rohani bayi tersebut pada saat itu sudah
befungsi sifat ma’aninya.
3.Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam kandungan rahim
ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali bayi itu sendiri. Sayangnya
setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang
telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.
Di dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika Roh-Ku ditiupkan ke
dalam janin bayi ia telah berjanji kepada Allah SWT. Janji ini dalam
bahasa agama disebut Syahadat Awal.
“Dia ingat ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiawa mereka seraya
berfirman : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Benar, kami
menyaksikan bahwa Engkau Tuhan kami ……” (QS Al A’raaf 7 : 172).
Berdasarkan ayat tersebut para ahli tasawuf berpendapat bahwa seorang
bayi dalam kandungan sebenarnya sudah bersyahadah atau telah menyaksikan
Wujud Tuhannya dengan mata rohaninya. Hal itu dikarenakan sifat ma’ani
dan rohaninya masih berfungsi dengan baik, belum terpengaruh oleh hawa
nafsu yang berada pada jasadnya. Sehingga seorang bayi yang masih berada
dalam kandungan dapat dikategorikan masih suci baik lahir maupun batin.
Tetapi sayangnya bayi tersebut belum mampu mengingat apa yang dirasakan
dan dialaminya saat itu karena daya ingat akalnya belum berfungsi. Para
ahli tasawuf mengatakan bahwa bayi dalam kandungan ibu sedang melakukan
suatu Laku Islam Yang Sejati yaitu laku Musyahadah kepada Allah dengan
berserah diri secara total kepada Allah SWT. Falsafah Jawa menyebut
keadaan tersebut dengan istilah “mati Dalam Hidup” di alam suwung.
Idul Fithri Sebagai Proses Kembali Ke Pencipta
Setelah seorang bayi dalam kandungan telah cukup bulannya yaitu selama
kurang lebih sembilan bulan berada dalam kandungan maka ia secara
otomatis akan dilahirkan kealam dunia ini oleh ibunya, inilah yang
disebut dengan hari kelahiran seorang bayi, yang diistilahkan dalam
dunia kedokteran dengan istilah “Natal”, sedang keadaan bayi dalam
kandungan disebut masa “Pre Natal”.
Setelah bayi lahir ke dunia sampai berusia lima tahun ia masih
dikategorikan seorang manusia yang masih “suci” karena pengaruh-pengaruh
hawa nafsunya belumlah berdampak negative terhadap kesucian rohaninya.
Tetapi ketika seorang manusia memasuki usia akil baligh sampai ia dewasa
dan lanjut usia, maka mulailah lingkungan duniawi dan hawa nafsunya
mempengaruhi kebersihan rohaninya, hal ini dikarenakan beberapa hal
yaitu :
1. Ketika seorang bayi dilahirkan pertama kalinya dari rahim seseorang
maka secara ototmatis kesembilan lubang yang terdapat pada jasmaninya
mulai terbuka dan berinteraksi dengan hawa dunia tetapi selama masa
balita alat-alat inderawinya masih sangat selektif dalam menerima
rangsangan duniawi sehingga lingkungan dunianya belum berdampak terhadap
perkembangan kapasitas rohaninya
2. Ketika memasuki usia akil baligh dan usia selanjutnya mulailah
lingkungan dunia dan hawa nafsunya memberikan dampak negative. Tetapi
setiap manusia telah dibekali oleh Allah perlengkapan yang lengkap baik
yang lahir maupun yang batin, yaitu Jasad yang sempurna berikut
perlengkapannya yaitu Panca Indera yang terdiri dari : Penglihatan,
pendengaran, pengecapan/pengucapan, penciuman, serta rasa jasmani. Empat
indera tersebut semuanya berada di kepala manusia sedang rasa jasmani
tersebar di seluruh tubuh. Selain itu manusia juga dilengkapi oleh akal
yang berpusat di kepala yang merupakan perpaduan antara Cipta, Rasa dan
Karsa (Fikir, Qalbu, dan Kehendak).
Sedangkan perlengkapan yang paling tinggi nilainya adalah Roh yang
berasal dari Allah yang telah ditiupkan oleh Allah ketika bayi berusia
kurang lebih tiga bulan. Roh manusia ini mempunyai wujud, ciri-ciri,
kemampuan, dan kelebihan yang berbeda-beda dengan sifat jasmaninya.
Semua perlengkapan yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia
dimaksudkan agar manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai utusan
Allah atau Khalifah Allah di muka bumi tetapi sayangnya mayoritas
manusia tidak dapat mengemban tugas tersebut bahkan yang lebih parah
lagi kebanyakan manusia itu terbelit dengan hawa nafsunya dan dunianya
sehingga lupa terhadap tugasnya, lupa terhadap Tuhannya, lupa terhadap
syahadatnya, dan lupa terhadap asalnya. Dengan kata lain pada saat itu
manusia buta mata hatinya terhadap Tuhannya dan tidak mengenal Asalnya
yaitu Allah SWT.
Padahal suatu saat setiap manusia akan mengalami kematian dan rohnya
harus kembali kepada yang meniupkannya. Oleh sebab itu Allah
memberitahukan kepada setiap manusia agar ia mencari Kampung Akhirat
(kampong asalnya) dan juga harus berusaha mengenal dan menemui Allah
(Liqa’Allah) ketika ia masih berasa dan hidup di atas bumi.
Dan carilah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, kampung
Akhirat dan janganlah kamu lupakan bagimu di dunia dan berbuat
baiklah……” (QS Al Qashash 28 : 77).
“Hai manusia! Sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, hingga engkau menemuiNya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 6)
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar manusia berusaha
untuk kembali menemui Allah agar nantinya ketika wafat Rohnya dapat
kembali ke asalnya yaitu Allah. Kembalinya seorang manusia kepada Allah
sebagai Al Fathir, hal ini disebut dengan istilah Idul Fithri (Id =
kembali, Fithri = Pencipta).
Proses kembalinya seorang manusia ke Pencipta dikiaskan dengan bahasa
symbol sebagaimana awal mula kejadian manusia (yaitu keadaan seperti
bayi dalam kandungan). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al
Qur’an yaitu :
“Dan sesungguhnya kamu dating kepada Kami sendirian sebagaimana kami
ciptakan kamu pada mulanya (awal penciptaan)….” (QS Al An’am 6 : 94).
“Kamu akan kembali menemui-Nya, sebagaimana Ia menciptakan pada mulanya (bayi dalam kandungan)”. (QS Al A’raaf 7 : 29).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut setiap manusia akan kembali menemui Sang
Pencipta (Al Fathir) sebagaimana ia diciptakan pada mulanya yaitu
seorang bayi. Tetapi kata “bayi” di ayat tersebut bukanlah arti yang
sesungguhnya melainkan kata mutasyabihat (symbol) yang maksudnya adalah
setiap manusia yang ingin kembali menemui Sang Pencipta (Idul Fithri)
maka ia harus melakukan suatu laku seperti seorang bayi dalam kandungan.
Para ahli tasawuf menamakan laku tersebut dengan istilah Shaum Khawasul
Khawas menjadi Bayi Ma’ani. Untuk mengetahui cara atau metode bertemu
kembali dengan Sang Maha Pencipta (Idul Fithri), para pembaca dapat
bertanya kepada Guru Mursyid atau juga membaca buku lain dari penulis
yang berjudul KUNCI MEMAHAMI ILMU MA’RIFAT. Tetapi sebelum membaca buku
tersebut sebaiknya para pembaca merenungkan ayat-ayat Al Qur’an dan
hadits Rasulullah SAW di bawah ini :
“Hai orang-orang yang BERIMAN, telah ditulis PUASA atas kamu sebagaimana
telah ditulis PUASA atas orang-orang beriman sebelum kamu, agar kamu
bertambah TAQWA”. QS Al Baqarah 2 : 183).
“…. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kamu, JIKA KAMU MENGETAHUI” (QS Al Baqarah 2 : 184)
“…. Dan hendaknya kamu MENYEMPURNAKAN BILANGAN BULAN ITU dan juga kamu
hendaknya MENGAGUNGKAN ALLAH ATAS PETUNJUK-NYA ITU YANG TELAH DIBERIKAN
KEPADAMU, supaya kamu BERSYUKUR”. (QS Al Baqarah : 185)
“Jika engkau ru’yah Hilal atau menyaksikan Bulan maka berpuasalah”. (Hadits)
“…… hendaklah kamu juga MENUTUP PANDANGANMU/PENGLIHATANMU”. (QS An Nuur 24 : 30).
“Kami TUTUP JUGA PENDENGARAN MEREKA beberapa lama di dalam GUA”. (QS Al Kahfi 18 : 11).
“Dan sesungguhnya kalau Kami memerintahkan kepada mereka : “Bunuhlah
ANFUSMU atau keluarlah dari RUMAHMU (dirimu)!”, niscaya mereka tidak
akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya
kalau mereka MELAKSANAKAN pelajaran yang diberikan kepada mereka,
tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih
menguatkan iman mereka, dan kalau demikian pasti Kami berikan kepada
mereka KARUNIA YANG BESAR DARI SISI KAMI”. (QD An Nisaa 4 : 66-67).
“Ya itu kamu akan menyaksikan SINAR MATAHARI terbit dari sebelah kanan
GUA dan terbenam di sebelah kiri GUA, sedangkan mereka ketika itu berada
di TEMPAT YANG LUAS dalam Gua tersebut …..” (QS Al Kahfi 18 : 17).
“Sambil mereka berkata : “Ya Tuhan kami, SEMPURNAKANLAH BAGI KAMI CAHAYA
KAMI dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS At Tahrim 66 : 8)
Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka itu tidak sadar dan
Kami balik-balikkan mereka ke kanan dank e kiri, SEDANGKAN ANJING MEREKA
MENJULURKAN KEDUA LENGANNYA KE MUKA PINTU GUA. Dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kalian akan berpaling dari mereka dengan
melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan (tanda
Tanya) terhadap mereka”. (QS Al Kahfi 18 : 18)
“Puasa adalah milikKu dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya”. (Al Shawm li wa-ana ajabihi) (Hadits Qudsi).
“Apabila engkau berpuasa, hendaklah telingamu berpuasa dan juga matamu,
lidahmu, dan mulutmu, tanganmu, dan setiap anggota tubuhmua”. (Hadits).
“Banyak orang berpuasa, hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu,
lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Hadits).
“Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh kebaikan dari puasanya kecuali lapar dan haus”. (Hadits).
“Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu haus dan badanmu telanjang,
mudah-mudahan mata hati kalian bias melihat Allah di dunia ini”
(Hadits).
Seorang sufi bernama Al Hujwiri dalam bukunya yang berjudul KASYFUL
MAHJUB meriwayatkan : “Aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan
memohon kepada beliau untuk memberikan nasehat kepadaku, dan beliau
menjawab : “Tahanlan lidahmu dan tutuplah indera-inderamu”.
“Tatkala aku berada di sisi Rasululullah SAW tiba-tiba beliau
bertanya “Adakah orang asing diantara kamu? Lantas beliau bersabda :
“Angkat tangan kamu dan memerintahkan agar menutup Pintu”. (HR Al Hakim
dari Ya’la bin Syidad).
Rasulullah SAW bersabda : “Lishaimi farhatthani, farhatun’ indal
ifthari, wa farhatun’indal liqa’rabihi”. Artinya : bagi orang yang
berpuasa pada saat kegembiraan, pertama di saat berbuka dan kedua disaat
bertemu Tuhannya. Hadits).
Hai manusia! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, hingga kamu menemui-Nya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 64).
“Dan sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang
baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah
(liman kaana yarjuloha)…” (QS Al Ahzab 33 : 21).
‘Barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Allah, maka suatu saat
waktu yang dijanjikan Allah akan tiba”. (QS Al Ankabuut 29 : 5).
“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah, maka ia harus melakukan amal yang benar….” (QS Al Kahfi 18 : 110).
“… (yaitu) bunuhlah nafs-mu dan keluarlah dari rumahmu (anfus-mu) ani
aqtuluu anfusakum awiakhrujuu min diyaarikum)…” (QS An Nisaa’ 4 : 66).
“… barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya…” (QS An Nisaa 4 : 1100).
“…maka masuklah ke dalam Gua, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan
Rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang bermanfaat bagimu dalam
urusan kamu, yaitu kamu akan melihat Cahaya MATAHARI bersinar dari
sebelah kanan di dalam Gua, dan tenggelam di sebelah kiri kamu beada di
tempat Yang luas dalam Gua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar