Minggu, 03 Juli 2016
PENGERTIAN IDUL FITRI MENURUT PENGASUH SAUNG KETENANGAN CAKRA JIWA
Mari sahabat semua …kita mulai mencari makna … mengapa Ramadhan diletakkan di bulan ke 9 dalam kalender Islam … selaknyanya seorang ibu yang mengandung selama 9 bulan …maka akan bertemu hari yang Fitri …
1. Muharram
2. Safar
3. Rabiul awal
4. Rabiul akhir
5. Jumadil awal
6. Jumadil akhir
7. Rajab
8. Sya'ban
9. Ramadhan
10. Syawal
11. Dzulkaidah
12. Dzulhijjah
Bismillahirrahmaanirrahiim
Setiap tanggal 1 Syawal seluruh umat Islam di Indonesia merayakan Hari Idul Fithri dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Hari Raya Idul Fitri merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses ibadah selama bulan Ramadhan dimana dalam bulan tersebut kita melakukan ibadah Shaum dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Penetapan Hari Raya Idul Fitri oleh Rasulullah Saw dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa dilaksanakan orang-orang Madinah pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yaitu :
“Jabir ra. Berkata : Rasulullah SAW datang ke Madinah sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka (bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan). Maka Rasulullah SAW bertanya : “Apakah hari yang dua ini?”, penduduk Madinah menjawab : “Adalah kami dimasa jahiliyah bergembira ria padanya”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Allah telah menukar dua hari ini dengan lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri”. (HR Abu Daud).
Berdasarkan hadits di atas, kita lihat betapa pentingnya keberadaan Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam oleh sebab itu kami mencoba membahas masalah Hakikat Idul Fitri menurut pandangan Saung Ketenangan Cakra Jiwa.
Pengertian Idul Fitri
Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fitri dengan arti “Kembali menjadi suci”. Pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasulullah SAW yaitu :
“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah Shaum selama satu bulan penuh dengan penuh keimanan kepada Allah maka apabila ia memasuki Idul Fitri, ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya”. (HR Bukhari).
Menurut kami pendapat yang mengartikan Idul Fitri dengan “kembali menjadi suci” tidak sepenuhnya diartikan SUCI, ini karena kata “Fithri” apabila diartikan dengan “Suci” tidaklah singkron dengan bahasa arab. Sebab kata “Suci” dalam bahasa Arabnya adalah “Al Qudus” atau “Subhana”. Jadi menurut Saung Ketenangan Cakra Jiwa istilah Idul Fitri dapat diartikan sebagai berikut : kata “Id” berarti “kembali” sedangkan kata Fitri” berarti “Pencipta” atau “Ciptaan”.
Dalam bahasa Arab akar kata Fitri berasal dari kata Al Fathir yang bisa berubah menjadi kata Al Fithrah, Al Fathrah atau Al Futhura, sebagai contoh lihat ayat di bawah ini :
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS Faathir 35 : 1).
Berdasarkan uraian di atas maka kami menyimpulkan bahwa kata “Idul Fitri” mempunyai minimal dua pengertian yaitu :
1. Kembali ke Pencipta
2. Kembali ke awal Penciptaan
Dua pengertian Idul Fitri yang dikemukakan oleh penulis seperti tersebut di atas mungkin sangat asing dan juga mengherankan para pembaca. Oleh sebab itu kami akan mencoba menjelaskan masalah tersebut berdasarkan ayat-ayat dalam Al Qur’an.
IDul Fithri Sebagai Proses Ke awal Penciptaan.
Menurut ahli tasawuf hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui
7 proses kejadian yaitu :
1. Sari pati tanah
2. Nutfah
3. Segumpal darah
4. Segumpal daging
5. Pertumbuhan tulang belulang
6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging
7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janian
Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dari segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging”. (QS Al Mu’minun 23 : 12 – 14).
“Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”. (QS As Sajadah 32 : 9).
Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir atau diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang mendapat tiupan Roh dari Allah (Roh-Ku).
Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi seorang bayi dalam kandungan dan juga keadaan serta cirri-ciri dari bayi tersebut seperti gambar yang dapat dilihat di halaman berikutnya.
Berdasarkan gambar-gambar tersebut dapat kita amati dan kita ketahui keadaan seorang bayi dalam kandungan yaitu :
1.Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (Amnion water atau kakang kawah).
Karena seorang bayi berada dalam air ketuban maka sembilan lubang yang ada pada jasmamaninya secara otomatis tertutup dan tidak berfungsi.
Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, satu lubang kelamin. Tetapi ada satu lubang yang ke sepuluh justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam bahsa Jawa tali plasenta tersebut dinamakan adik ari-ari.
2. Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada seorang bayi dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi dengan kata lain bayi pada saat itu tidak bias melihat, mendengar, berkata-kata, bernafas, serta tidak bias buang air besar maupun air kecil. Tetapi rohani bayi tersebut pada saat itu sudah befungsi sifat ma’aninya.
3.Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam kandungan rahim ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.
Di dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam janin bayi ia telah berjanji kepada Allah SWT. Janji ini dalam bahasa agama disebut Syahadat Awal.
“Dia ingat ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiawa mereka seraya berfirman : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Benar, kami menyaksikan bahwa Engkau Tuhan kami ……” (QS Al A’raaf 7 : 172).
Berdasarkan ayat tersebut para ahli tasawuf berpendapat bahwa seorang bayi dalam kandungan sebenarnya sudah bersyahadah atau telah menyaksikan Wujud Tuhannya dengan mata rohaninya. Hal itu dikarenakan sifat ma’ani dan rohaninya masih berfungsi dengan baik, belum terpengaruh oleh hawa nafsu yang berada pada jasadnya. Sehingga seorang bayi yang masih berada dalam kandungan dapat dikategorikan masih suci baik lahir maupun batin.
Tetapi sayangnya bayi tersebut belum mampu mengingat apa yang dirasakan dan dialaminya saat itu karena daya ingat akalnya belum berfungsi. Para ahli tasawuf mengatakan bahwa bayi dalam kandungan ibu sedang melakukan suatu Laku Islam Yang Sejati yaitu laku Musyahadah kepada Allah dengan berserah diri secara total kepada Allah SWT. Falsafah Jawa menyebut keadaan tersebut dengan istilah “mati Dalam Hidup” di alam suwung.
Idul Fithri Sebagai Proses Kembali Ke Pencipta
Setelah seorang bayi dalam kandungan telah cukup bulannya yaitu selama kurang lebih sembilan bulan berada dalam kandungan maka ia secara otomatis akan dilahirkan kealam dunia ini oleh ibunya, inilah yang disebut dengan hari kelahiran seorang bayi, yang diistilahkan dalam dunia kedokteran dengan istilah “Natal”, sedang keadaan bayi dalam kandungan disebut masa “Pre Natal”.
Setelah bayi lahir ke dunia sampai berusia lima tahun ia masih dikategorikan seorang manusia yang masih “suci” karena pengaruh-pengaruh hawa nafsunya belumlah berdampak negative terhadap kesucian rohaninya.
Tetapi ketika seorang manusia memasuki usia akil baligh sampai ia dewasa dan lanjut usia, maka mulailah lingkungan duniawi dan hawa nafsunya mempengaruhi kebersihan rohaninya, hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu :
1. Ketika seorang bayi dilahirkan pertama kalinya dari rahim seseorang maka secara ototmatis kesembilan lubang yang terdapat pada jasmaninya mulai terbuka dan berinteraksi dengan hawa dunia tetapi selama masa balita alat-alat inderawinya masih sangat selektif dalam menerima rangsangan duniawi sehingga lingkungan dunianya belum berdampak terhadap perkembangan kapasitas rohaninya
2. Ketika memasuki usia akil baligh dan usia selanjutnya mulailah lingkungan dunia dan hawa nafsunya memberikan dampak negative. Tetapi setiap manusia telah dibekali oleh Allah perlengkapan yang lengkap baik yang lahir maupun yang batin, yaitu Jasad yang sempurna berikut perlengkapannya yaitu Panca Indera yang terdiri dari : Penglihatan, pendengaran, pengecapan/pengucapan, penciuman, serta rasa jasmani. Empat indera tersebut semuanya berada di kepala manusia sedang rasa jasmani tersebar di seluruh tubuh. Selain itu manusia juga dilengkapi oleh akal yang berpusat di kepala yang merupakan perpaduan antara Cipta, Rasa dan Karsa (Fikir, Qalbu, dan Kehendak).
Sedangkan perlengkapan yang paling tinggi nilainya adalah Roh yang berasal dari Allah yang telah ditiupkan oleh Allah ketika bayi berusia kurang lebih tiga bulan. Roh manusia ini mempunyai wujud, ciri-ciri, kemampuan, dan kelebihan yang berbeda-beda dengan sifat jasmaninya.
Semua perlengkapan yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia dimaksudkan agar manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah atau Khalifah Allah di muka bumi tetapi sayangnya mayoritas manusia tidak dapat mengemban tugas tersebut bahkan yang lebih parah lagi kebanyakan manusia itu terbelit dengan hawa nafsunya dan dunianya sehingga lupa terhadap tugasnya, lupa terhadap Tuhannya, lupa terhadap syahadatnya, dan lupa terhadap asalnya. Dengan kata lain pada saat itu manusia buta mata hatinya terhadap Tuhannya dan tidak mengenal Asalnya yaitu Allah SWT.
Padahal suatu saat setiap manusia akan mengalami kematian dan rohnya harus kembali kepada yang meniupkannya. Oleh sebab itu Allah memberitahukan kepada setiap manusia agar ia mencari Kampung Akhirat (kampong asalnya) dan juga harus berusaha mengenal dan menemui Allah (Liqa’Allah) ketika ia masih berasa dan hidup di atas bumi.
Dan carilah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, kampung Akhirat dan janganlah kamu lupakan bagimu di dunia dan berbuat baiklah……” (QS Al Qashash 28 : 77).
“Hai manusia! Sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga engkau menemuiNya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 6)
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar manusia berusaha untuk kembali menemui Allah agar nantinya ketika wafat Rohnya dapat kembali ke asalnya yaitu Allah. Kembalinya seorang manusia kepada Allah sebagai Al Fathir, hal ini disebut dengan istilah Idul Fithri (Id = kembali, Fithri = Pencipta).
Proses kembalinya seorang manusia ke Pencipta dikiaskan dengan bahasa symbol sebagaimana awal mula kejadian manusia (yaitu keadaan seperti bayi dalam kandungan). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :
“Dan sesungguhnya kamu dating kepada Kami sendirian sebagaimana kami ciptakan kamu pada mulanya (awal penciptaan)….” (QS Al An’am 6 : 94).
“Kamu akan kembali menemui-Nya, sebagaimana Ia menciptakan pada mulanya (bayi dalam kandungan)”. (QS Al A’raaf 7 : 29).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut setiap manusia akan kembali menemui Sang Pencipta (Al Fathir) sebagaimana ia diciptakan pada mulanya yaitu seorang bayi. Tetapi kata “bayi” di ayat tersebut bukanlah arti yang sesungguhnya melainkan kata mutasyabihat (symbol) yang maksudnya adalah setiap manusia yang ingin kembali menemui Sang Pencipta (Idul Fithri) maka ia harus melakukan suatu laku seperti seorang bayi dalam kandungan.
Para ahli tasawuf menamakan laku tersebut dengan istilah Shaum Khawasul Khawas menjadi Bayi Ma’ani. Untuk mengetahui cara atau metode bertemu kembali dengan Sang Maha Pencipta (Idul Fithri), para pembaca dapat bertanya kepada Guru Mursyid atau juga membaca buku lain dari penulis yang berjudul KUNCI MEMAHAMI ILMU MA’RIFAT. Tetapi sebelum membaca buku tersebut sebaiknya para pembaca merenungkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits Rasulullah SAW di bawah ini :
“Hai orang-orang yang BERIMAN, telah ditulis PUASA atas kamu sebagaimana telah ditulis PUASA atas orang-orang beriman sebelum kamu, agar kamu bertambah TAQWA”. QS Al Baqarah 2 : 183).
“…. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kamu, JIKA KAMU MENGETAHUI” (QS Al Baqarah 2 : 184)
“…. Dan hendaknya kamu MENYEMPURNAKAN BILANGAN BULAN ITU dan juga kamu hendaknya MENGAGUNGKAN ALLAH ATAS PETUNJUK-NYA ITU YANG TELAH DIBERIKAN KEPADAMU, supaya kamu BERSYUKUR”. (QS Al Baqarah : 185)
“Jika engkau ru’yah Hilal atau menyaksikan Bulan maka berpuasalah”. (Hadits)
“…… hendaklah kamu juga MENUTUP PANDANGANMU/PENGLIHATANMU”. (QS An Nuur 24 : 30).
“Kami TUTUP JUGA PENDENGARAN MEREKA beberapa lama di dalam GUA”. (QS Al Kahfi 18 : 11).
“Dan sesungguhnya kalau Kami memerintahkan kepada mereka : “Bunuhlah ANFUSMU atau keluarlah dari RUMAHMU (dirimu)!”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka MELAKSANAKAN pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka, dan kalau demikian pasti Kami berikan kepada mereka KARUNIA YANG BESAR DARI SISI KAMI”. (QD An Nisaa 4 : 66-67).
“Ya itu kamu akan menyaksikan SINAR MATAHARI terbit dari sebelah kanan GUA dan terbenam di sebelah kiri GUA, sedangkan mereka ketika itu berada di TEMPAT YANG LUAS dalam Gua tersebut …..” (QS Al Kahfi 18 : 17).
“Sambil mereka berkata : “Ya Tuhan kami, SEMPURNAKANLAH BAGI KAMI CAHAYA KAMI dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At Tahrim 66 : 8)
Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka itu tidak sadar dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dank e kiri, SEDANGKAN ANJING MEREKA MENJULURKAN KEDUA LENGANNYA KE MUKA PINTU GUA. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kalian akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan (tanda Tanya) terhadap mereka”. (QS Al Kahfi 18 : 18)
“Puasa adalah milikKu dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya”. (Al Shawm li wa-ana ajabihi) (Hadits Qudsi).
“Apabila engkau berpuasa, hendaklah telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu, dan mulutmu, tanganmu, dan setiap anggota tubuh mu”. (Hadits).
“Banyak orang berpuasa, hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Hadits).
“Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh kebaikan dari puasanya kecuali lapar dan haus”. (Hadits).
“Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu haus dan badanmu telanjang, mudah-mudahan mata hati kalian bias melihat Allah di dunia ini” (Hadits).
Seorang sufi bernama Al Hujwiri dalam bukunya yang berjudul KASYFUL MAHJUB meriwayatkan : “Aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasehat kepadaku, dan beliau menjawab : “Tahanlan lidahmu dan tutuplah indera-inderamu”.
“Tatkala aku berada di sisi Rasululullah SAW tiba-tiba beliau bertanya “Adakah orang asing diantara kamu? Lantas beliau bersabda : “Angkat tangan kamu dan memerintahkan agar menutup Pintu”. (HR Al Hakim dari Ya’la bin Syidad).
Rasulullah SAW bersabda : “Lishaimi farhatthani, farhatun’ indal ifthari, wa farhatun’indal liqa’rabihi”. Artinya : bagi orang yang berpuasa pada saat kegembiraan, pertama di saat berbuka dan kedua disaat bertemu Tuhannya. Hadits).
Hai manusia! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga kamu menemui-Nya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 64).
“Dan sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah (liman kaana yarjuloha)…” (QS Al Ahzab 33 : 21).
‘Barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Allah, maka suatu saat waktu yang dijanjikan Allah akan tiba”. (QS Al Ankabuut 29 : 5).
“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah, maka ia harus melakukan amal yang benar….” (QS Al Kahfi 18 : 110).
“… (yaitu) bunuhlah nafs-mu dan keluarlah dari rumahmu (anfus-mu) ani aqtuluu anfusakum awiakhrujuu min diyaarikum)…” (QS An Nisaa’ 4 : 66).
“… barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya…” (QS An Nisaa).
“…maka masuklah ke dalam Gua, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan Rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang bermanfaat bagimu dalam urusan kamu, yaitu kamu akan melihat Cahaya MATAHARI bersinar dari sebelah kanan di dalam Gua, dan tenggelam di sebelah kiri kamu berada di tempat Yang luas dalam Gua
Kamis, 23 Juni 2016
HAKIKAT PUASA SEBAGAI SARANA MENEMUI ALLAH
“Bagi orang yang berpuasa ada dua
kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu
dengan Tuhannya”. (HR Bukhari)
‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw.
Segera memanggilnya. Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Nabi saw. Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu?
Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah Saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah “shaum” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.
Dari pengertian ini, terlihat dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Tetapi dalam bahasaIndonesia , kedua istilah itu
diartikan sama.
Arti puasa yang sebenarnya adalah menahan diri atau mengendalikan dari apa saja, termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara. Hal ini dapat disimak dari ucapan Maryam tatkala dirinya diberondong pertanyaan perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih.
“ …. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)
Dalam ayat ini, Maryam menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya, yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun.
Sementara itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari”.Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat wanita yang ditegur Nabi Saw.
Memang, tidak terlalu salah bila hal itu didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata.
Menurut fiqih, puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Dengan demikian, kewajiban puasa seseorang pun telah tertunaikan. Namun, ini tidak memadai bila diukur dengan menggunakan parameter Sunnah Nabi.
Oleh karena itu, kaum Sufi (‘urafa’) membagi puasa dalam beberapa tingkatan.
Menurut kaum Sufi puasa dapat dipilah dalam tiga kategori : puasa perut, puasa nafsu, dan puasa qalbu. Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih (fuqaha).
Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali. Dalam terminologi Imam Al Ghazali, puasa seperti ini disebut puasa awam.
“Dalam khutbah menjelang bulan Ramadhan, Nabi Saw. dengan jelas mengatakan : “Peliharalah lidahmu, tundukan pandanganmu dari sesuatu yang matamu tidak dihalalkan melihatnya, dan palingkan pendengaran dari sesuatu yang haram untuk didengar telingamu” (HR Bukhari)
Karena itu, puasa perut tentu saja tidak bernilai di mata Allah dan tidak akan menghasilkan apa pun. Paling banter, yang dihasilkannya hanyalah lapar dan dahaga saja.
“Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata” (HR An Nasa’i)
Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa hawa nafsu. Imam Abi Thalib menegaskan, “Puasa hawa nafsu lebih baik dari pada puasa perut”.
Puasa hawa nafsu adalah pada dasarnya adalah puasa seperti yang didefinisikan para ulama fiqih, tetapi dibarengi dengan upaya mengendalikan seluruh aktivitas inderawi dan anggota tubuh dari segala yang diharamkan Allah.
“Apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Al Hadits)
Dalam sebuah riwayat, misalnya disebutkan juga, bahwa Abu Abdillah r.a. (Imam Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaran, penglihatan, dan kulitmu. Janganlah samakan hari puasamu dengan hari berbukamu”.
Dalam riwayat lain, Imam Ja’far ash-Shadiq r.a mengatakan, “Jika engkau berpuasa, maka kendalikan pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang diharamkan. Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan. Tinggalkan perilaku yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila mampu, diamlah dari segala pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah. Jangan jadikan hari-hari puasamu seperti hari-hari fitrahmu”.
Puasa hawa nafsu (Imam Al Ghazali menyebutnya puasa khusus) memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menjalankan puasa itu, selain niat dan tekat yang kuat, diperlukan juga pertolongan dari Allah.
Tingkatan puasa terakhir adalah puasa qalbu. Inilah tingkatan puasa paling tinggi. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Puasa qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.
Puasa qalbu jauh lebih baik dari puasa hawa nafsu. Sementara itu, puasa hawa nafsu lebih baik daripada puasa perut. Puasa qalbu dalam pandangan Sayidina Ali identik dengan puasa khushush al-khushush menurut Imam Al Ghazali.
Inilah gabungan puasa jenis pertama dan puasa jenis kedua plus “puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah: (Ihya’ ‘Ulumiddin, 1 : 277).
Dalam tingkatan ini, puasa sudah dianggap batal hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah. Karena pada waktu kita melakukan puasa qalbu atau puasa khushush al khushush saat itu kita sedang bertemu dengan Allah.
Demikianlah tingkatan-tingkatan puasa dalam pandangan kaum Sufi. Sebuah pertanyaan menarik segera mengemuka : Puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan besar mencapai tujuannya seperti dinyatakan Al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan puasa.
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 183)
“Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya “. (HR Bukhari)
“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badan mu telanjang, mudah-mudahanan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. (HR Bukhari)
Berdasarkan dalil tersebut, terlihat dengan jelas bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan kewajiban yang juga diperintahkan oleh Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul.
Hal ini berarti ada persamaan antara puasa umat Islam dengan puasa umat sebelumnya, tetapi pertanyaannya, puasa yang seperti apa? Kemudian, dalil tersebut juga menjelaskan bahwa tujuan orang berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa.
Apakah yang dimaksud dengan takwa?
Dalam dalil tersebut juga dijelaskan bahwa orang berpuasa akan mendapat kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya. Puasa yang bagaimanakah yang dapat menghantarkan kita bertemu dengan Tuhan kita?
Kata takwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang arti adalah memelihara atau menjaga. Tujuan dari orang yang berpuasa adalah agar ia terus memelihara iman yang telah ditanam oleh Allah dalam qalbunya agar ketika ia meninggal dunia tetap dalam keadaan beriman kepada Allah.
Apakah iman itu ? Pada hakikatnya iman itu adalah Nur Allah yang telah disaksikan oleh setiap orang yang beriman ketika ia bertemu dengan Allah untuk pertamakalinya.
Pertemuan dengan Allah itu dapat terjadi lantaran ia melakukan ibadah puasa. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa ibadah puasa dapat digunakan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah, dan pertemuan tersebut merupakan pengalaman yang sangat menggembirakan bagi para pelaku puasa.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa kegembiraan bertemu dengan Tuhan karena melakukan ibadah puasa, didapatkan nanti ketika kita berada di akhirat kelak, sehingga banyak umat Islam tidak peduli lagi dengan puasanya apakah dapat menghantarkan kepada pertemuan dengan Tuhan atau tidak.
Padahal hadits tersebut tidak menjelaskan pertemuan dengan Allah itu nanti di “akhirat”. Akan tetapi justru pertemuan dengan Allah itu terjadi ketika orang itu berpuasa. Maka merugilah orang yang berpuasa tetapi tidak merasakan kegembiraan dan kenikmatan bertemu dengan Tuhannya.
“Berapa banyak orang melakukan puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga semata”. (HR An Nasai dan Ibnu Majah)
Dengan tegas Al Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyaful Mahjub mengatakan : “ Buah lapar adalah menyaksikan Allah (musyahadah), sedangkan caranya adalah penundukan hawa nafsu. (mujahadah).
Kenyang yang dipadu dengan menyaksikan Allah (musyahadah) lebih baik daripada lapar yang terpadu dengan mujahadah, karena menyaksikan Allah adalahmedan
perang manusia, sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak”.
Kemudian Al Hujwiri menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasihat dan Rasulullah Saw. menjawab : “Tahanlah lidahmu dan indera-inderamu”.
Menurut Al Hujwiri, menahan indera-indera adalah mujahadat yang sempurna, karena semua pengetahuan diperoleh melalui panca indera : penglihatan,pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan.
Empat dari indera-indera itu mempunyai suatu tempat yang khusus, tetapi yang kelima, yakni perabaan, tersebar ke seluruh badan. Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melewati pintu ini, kecuali pengetahuan intuitif dan Ilham Tuhan, dan pada masing-masing terdapat kesucian dan ketidaksucian.
Karena, sebagaimana terbuka bagi pengetahuan, akal dan ruh, demikian pula mereka terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang merupakan organ-organ yang berperan dalam ketaatan dan dosa, juga berperan dalam kebahagiaan dan penderitaan.
Karena itu, bagi orang yang melakukan puasa diharapkan untuk memenjarakan semua indera itu agar mereka bisa berpaling dari ketidaktaatan kepada ketaatan.
Berpantang hanya dari makanan dan minuman adalah permainan anak-anak. Orang harus berpantang dari kesenangan-kesenangan yang tidak berguna dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, bukan dari makanan yang halal.
‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw.
Segera memanggilnya. Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Nabi saw. Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu?
Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah Saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah “shaum” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.
Dari pengertian ini, terlihat dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Tetapi dalam bahasa
Arti puasa yang sebenarnya adalah menahan diri atau mengendalikan dari apa saja, termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara. Hal ini dapat disimak dari ucapan Maryam tatkala dirinya diberondong pertanyaan perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih.
“ …. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)
Dalam ayat ini, Maryam menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya, yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun.
Sementara itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari”.Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat wanita yang ditegur Nabi Saw.
Memang, tidak terlalu salah bila hal itu didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata.
Menurut fiqih, puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Dengan demikian, kewajiban puasa seseorang pun telah tertunaikan. Namun, ini tidak memadai bila diukur dengan menggunakan parameter Sunnah Nabi.
Oleh karena itu, kaum Sufi (‘urafa’) membagi puasa dalam beberapa tingkatan.
Menurut kaum Sufi puasa dapat dipilah dalam tiga kategori : puasa perut, puasa nafsu, dan puasa qalbu. Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih (fuqaha).
Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali. Dalam terminologi Imam Al Ghazali, puasa seperti ini disebut puasa awam.
“Dalam khutbah menjelang bulan Ramadhan, Nabi Saw. dengan jelas mengatakan : “Peliharalah lidahmu, tundukan pandanganmu dari sesuatu yang matamu tidak dihalalkan melihatnya, dan palingkan pendengaran dari sesuatu yang haram untuk didengar telingamu” (HR Bukhari)
Karena itu, puasa perut tentu saja tidak bernilai di mata Allah dan tidak akan menghasilkan apa pun. Paling banter, yang dihasilkannya hanyalah lapar dan dahaga saja.
“Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata” (HR An Nasa’i)
Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa hawa nafsu. Imam Abi Thalib menegaskan, “Puasa hawa nafsu lebih baik dari pada puasa perut”.
Puasa hawa nafsu adalah pada dasarnya adalah puasa seperti yang didefinisikan para ulama fiqih, tetapi dibarengi dengan upaya mengendalikan seluruh aktivitas inderawi dan anggota tubuh dari segala yang diharamkan Allah.
“Apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Al Hadits)
Dalam sebuah riwayat, misalnya disebutkan juga, bahwa Abu Abdillah r.a. (Imam Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaran, penglihatan, dan kulitmu. Janganlah samakan hari puasamu dengan hari berbukamu”.
Dalam riwayat lain, Imam Ja’far ash-Shadiq r.a mengatakan, “Jika engkau berpuasa, maka kendalikan pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang diharamkan. Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan. Tinggalkan perilaku yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila mampu, diamlah dari segala pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah. Jangan jadikan hari-hari puasamu seperti hari-hari fitrahmu”.
Puasa hawa nafsu (Imam Al Ghazali menyebutnya puasa khusus) memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menjalankan puasa itu, selain niat dan tekat yang kuat, diperlukan juga pertolongan dari Allah.
Tingkatan puasa terakhir adalah puasa qalbu. Inilah tingkatan puasa paling tinggi. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Puasa qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.
Puasa qalbu jauh lebih baik dari puasa hawa nafsu. Sementara itu, puasa hawa nafsu lebih baik daripada puasa perut. Puasa qalbu dalam pandangan Sayidina Ali identik dengan puasa khushush al-khushush menurut Imam Al Ghazali.
Inilah gabungan puasa jenis pertama dan puasa jenis kedua plus “puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah: (Ihya’ ‘Ulumiddin, 1 : 277).
Dalam tingkatan ini, puasa sudah dianggap batal hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah. Karena pada waktu kita melakukan puasa qalbu atau puasa khushush al khushush saat itu kita sedang bertemu dengan Allah.
Demikianlah tingkatan-tingkatan puasa dalam pandangan kaum Sufi. Sebuah pertanyaan menarik segera mengemuka : Puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan besar mencapai tujuannya seperti dinyatakan Al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan puasa.
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 183)
“Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya “. (HR Bukhari)
“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badan mu telanjang, mudah-mudahanan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. (HR Bukhari)
Berdasarkan dalil tersebut, terlihat dengan jelas bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan kewajiban yang juga diperintahkan oleh Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul.
Hal ini berarti ada persamaan antara puasa umat Islam dengan puasa umat sebelumnya, tetapi pertanyaannya, puasa yang seperti apa? Kemudian, dalil tersebut juga menjelaskan bahwa tujuan orang berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa.
Apakah yang dimaksud dengan takwa?
Dalam dalil tersebut juga dijelaskan bahwa orang berpuasa akan mendapat kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya. Puasa yang bagaimanakah yang dapat menghantarkan kita bertemu dengan Tuhan kita?
Kata takwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang arti adalah memelihara atau menjaga. Tujuan dari orang yang berpuasa adalah agar ia terus memelihara iman yang telah ditanam oleh Allah dalam qalbunya agar ketika ia meninggal dunia tetap dalam keadaan beriman kepada Allah.
Apakah iman itu ? Pada hakikatnya iman itu adalah Nur Allah yang telah disaksikan oleh setiap orang yang beriman ketika ia bertemu dengan Allah untuk pertamakalinya.
Pertemuan dengan Allah itu dapat terjadi lantaran ia melakukan ibadah puasa. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa ibadah puasa dapat digunakan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah, dan pertemuan tersebut merupakan pengalaman yang sangat menggembirakan bagi para pelaku puasa.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa kegembiraan bertemu dengan Tuhan karena melakukan ibadah puasa, didapatkan nanti ketika kita berada di akhirat kelak, sehingga banyak umat Islam tidak peduli lagi dengan puasanya apakah dapat menghantarkan kepada pertemuan dengan Tuhan atau tidak.
Padahal hadits tersebut tidak menjelaskan pertemuan dengan Allah itu nanti di “akhirat”. Akan tetapi justru pertemuan dengan Allah itu terjadi ketika orang itu berpuasa. Maka merugilah orang yang berpuasa tetapi tidak merasakan kegembiraan dan kenikmatan bertemu dengan Tuhannya.
“Berapa banyak orang melakukan puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga semata”. (HR An Nasai dan Ibnu Majah)
Dengan tegas Al Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyaful Mahjub mengatakan : “ Buah lapar adalah menyaksikan Allah (musyahadah), sedangkan caranya adalah penundukan hawa nafsu. (mujahadah).
Kenyang yang dipadu dengan menyaksikan Allah (musyahadah) lebih baik daripada lapar yang terpadu dengan mujahadah, karena menyaksikan Allah adalah
Kemudian Al Hujwiri menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasihat dan Rasulullah Saw. menjawab : “Tahanlah lidahmu dan indera-inderamu”.
Menurut Al Hujwiri, menahan indera-indera adalah mujahadat yang sempurna, karena semua pengetahuan diperoleh melalui panca indera : penglihatan,pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan.
Empat dari indera-indera itu mempunyai suatu tempat yang khusus, tetapi yang kelima, yakni perabaan, tersebar ke seluruh badan. Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melewati pintu ini, kecuali pengetahuan intuitif dan Ilham Tuhan, dan pada masing-masing terdapat kesucian dan ketidaksucian.
Karena, sebagaimana terbuka bagi pengetahuan, akal dan ruh, demikian pula mereka terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang merupakan organ-organ yang berperan dalam ketaatan dan dosa, juga berperan dalam kebahagiaan dan penderitaan.
Karena itu, bagi orang yang melakukan puasa diharapkan untuk memenjarakan semua indera itu agar mereka bisa berpaling dari ketidaktaatan kepada ketaatan.
Berpantang hanya dari makanan dan minuman adalah permainan anak-anak. Orang harus berpantang dari kesenangan-kesenangan yang tidak berguna dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, bukan dari makanan yang halal.
Selasa, 21 Juni 2016
KENAPA DI BULAN ROMADHON MASIH ADA MAKSIAT
Mbah Qodim “Iya pak RW”
Pak RW “Lalu kenapa mbah?” Mbah Qodim “Setahu saya dulu dia bukan peminum pak RW”. Pak RW “Iya mbah , dia tuh ketularan si Jono yang saat ini di sel di LP, mbah.” Mbah Qodim berhenti, lalu memandangi semuanya “Itu dia, takkala si Paijo berteman dengan Jono setiap hari ia dihidangkan Tuak, karena sudah terbiasa itulah jadinya kecanduan, lalu saat Jono ditangkap aparat lalu di penjara, si Paijo tanpa Jonopun tetap meminum-minuman susu genderuwo tersebut, Artinya Bulan Suci Rumodhon ini hanya sebulan saja di belenggunya syetan, pak, 11 bulan lainnya ia mencari teman, nah pas syetan di penjara sekalipun yang menjadi teman-temannya syetan itu akan terlihat jiwa dan hatinya walau tanpa ditemani oleh syetan, bahkan bibir mereka selalu mengutuk dan menyatakan bahwa syetan adalah musuh mereka, namun di dalam hati hakekatnya mereka adalah teman sejati syetan pak”. Pak RT “Jadi manusia yang melakukan maksiat di bulan romadhon ini sesungguhnya tergerak berbuat demikian tanpa godaan syetan mbah?” Mbah Qodim kembali melanjutkan perjalanan “Siapapun yang berteman baik sama pak Polisi, Pak Tentara, Pak Lurah, Pak RT hehhee mereka akan dikatakan teman Pak Polisi, teman pak Tentara, teman pak Lurah atau pak RT, walau hanya teman, mereka akan fasih mengikuti prilaku siapa yang dijadikan temannya itu, nah bertepatan dengan bulan suci inilah Allah SWT ingin memberi dinding atau hijab kepada Hamba Nya yang benar-benar ingin berubah, maka istilahnya di bulan ini ada puasa ular dan puasa ulat.” Pak RW “Apa itu mbah maksudnya?” Mbah Qodim “Puasa ular itu artinya ada saatnya ularharus ganti kulit, dia harus berdiam diri seperti puasa, namun setelah ganti kulit ternyata ia kembali lagi menjadi ular, contoh si Paijo, bulan ini ia berpuasa, lalu saat Jono keluar dari penjara pasti dia akan menemui Paijo lagi dan mengajak untuk minum susu genderuwo, bila Paijo melaksanakan puasa ular yaah dia akan menjadi teman sejatinya Jono lagi pak. Lain halnya bila Paijo puasa ulat, dari ulat dia puasa menjadi kepompong lalu berubah menjadi kupu-kupu, ia terbang meninggalkan masa dimana ia menjadi ulat, ia lulus saat puasa satu bulan ini menjadi pribadi yang baru, walau Jono kembali merayunya maka Paijo sudah memiliki sayap untuk terbang meninggalkannya.” Pak RT “Berarti kita harus benar-benar puasa yaa mbah? bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja?” Mbah Qodim “In Syaa Allah demikian pak RT, bila kita benar-benar Puasa dengan sebenar-benarnya dan lulus maka kita akan bertemu Idul Fitri, Idul itu kembali, Fitri itu dari kata Fatir (permulaaan) atau Futuro atau Fitroh, tutup buku yang lalu tuliskan pada lembaran yang baru, itu mengapa Allah SWT memberikan Hari Raya Kemenangan yang bernama Idul Fitri, kembali seperti bayi kembali atau membuka lembaran baru, ayoo kita sudah sampai Musholla, kita persiapkan untuk Azan Magrib.”
Minggu, 19 Juni 2016
TERIMA KASIH
Santri Saung Ketenangan Cakra Jiwa mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Hamba Allah yang sudah beramal jariah berupa Sejadah, Sorban, Kopiyah dan Kain sarung ... Semoga Allah membalas kebaikan panjenengan dengan ridho-Nya.. Aamiin ..
DOA
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagimu. “[QS. Al-mukmin:60].
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita agar berdo’a kepada-Nya dan Dia akan memenuhi permohonan hamba-Nya.
berkenaan dengan ini Rasulullah Saw bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim pun berdo’a dengan do’a yang di dalamnya tidak berisi dosa dan pemutus tali silaturahmi melainkan Allah memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: Allah akan menyegerakan permohonannya itu (diperoleh di dunia) atau Allah akan menyimpannya untuknya di akhirat kelak, atau Dia memalingkan darinya keburukan yang setimpal dengan do’anya itu.” [HR. Ahmad, hadits shahih].
Jumat, 17 Juni 2016
Agama Laksana Pohon
Di Saung Ketenangan Cakra Jiwa membagi ilmu pengetahuan ke dalam empat bagian. Bagian pertama berkaitan dengan kewajiban dan aturan agama mengenai segala sesuatu dan segala perbuatan di dunia ini. Bagian kedua berkaitan dengan makna batin dan sebab di balik semua ajaran ini. Bagian ini disebut tasawuf—pengetahuan konseptual mengenai segala sesuatu yg bersifat zhanni (tidak pasti). Bagian ketiga adalah falsafah, yg mengkaji rahasia hakekat nurani. Bagian keempat membahas hakikat batin ilmu ini, yakni ilmu mengenai kebenaran. Manusia sempurna harus mempelajari dan mengetahui semua ilmu ini dan mencari jalan untuk meraihnya.
Rasulullah saw bersabda, “Agama adalah pohon, tasawuf adalah cabangnya, falsafah adalah daunnya, kebenaran adalah buahnya. Dan semua itu terkandung dalam Al-Qur’an, dengan tafsir, uraian, dan takwilnya.”
Dalam kitab al-Majma’, kata tafsir—penjelasan, dan ta’wil—tafsir dengan analogi didefinisikan sebagai berikut: “Tafsir Al-Qur’an merupakan penjelasan untuk memberikan pemahaman kepada kaum awam, sedangkan takwil adalah uraian terhadap makna batin melalui ilham yg diterima seorang mukmin sejati, takwil hanya diperuntukkan bagi hamba Allah yg istimewa, yg berpendirian teguh, setia kepada cita-cita ruhani, dan menguasai ilmu untuk memilah antara yg benar dan yg salah. Layaknya pohon kurma yg akarnya menghujam ke bumi, kaki mereka berdiri kokoh di alam materi ini; dan bagaikan pohon kurma yg rantingnya menjulang ke angkasa, hati dan pikiran mereka pun menjulang meraih ilmu samawi.” Berkat rahmat Allah, keteguhan yg tanpa keraguan bertahta di pusat hati mereka. Tingkat keteguhan ini sejajar dengan paruh kedua kalimat tauhid: la ilaha illallaah—illallah, “kecuali Allah”, yg menegaskan keesaan.
“Dialah yg menurunkan Al-Kitab kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yg muhkamat, itulah pokok-pokok Al-Qur’an dan yg lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Orang yg hatinya condong kepada kesesatan mengikuti sebagian ayat-ayat yg mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yg mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yg mendalam ilmunya beriman kepada ayat-ayat yg mutasyabihat, “semuanya dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang yg berakal.” (al ‘Imran: 7)
Seorang mufasir menjelaskan ayat ini bahwa seandainya pintu ayat ini dibuka, semua pintu rahasia alam batin juga akan dibuka.
Hamba sejati wajib melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia juga wajib melawan hawa nafsu dan syahwatnya. Nafsu melawan agama dengan memunculkan khayalan yg bertentangan dengan kenyataan. Pada tataran tasawuf, nafsu yg licik membujuk manusia untuk menerima dan mengikuti sebab-sebab dan konsep-konsep yg seolah-olah benar, mengikuti pesan kenabian dan ucapan para wali yg tidak sahih, serta mengikuti para guru atau pemikiran yg sesat. Pada tataran falsafah, nafsu selalu berupaya mendorong manusia untuk mengaku-aku sebagai wali atau bahkan Tuhan—dosa terbesar karena menjadi sekutu bagi Allah:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yg menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya…” (al-Furqan: 43)
Berbeda dengan ketiga tingkatan ilmu yg pertama, nafsu maupun setan tidak akan sampai pada tataran kebenaran, atau hakikat—bahkan para malaikat pun tak dapat menyentuhnya. Siapa pun, kecuali Allah, yg mendekati kawasan itu akan hancur menjadi debu, sebagaimana dikatakan oleh Jibril a.s, kepada Nabi Muhammad ketika ia tiba di tepi kawasan itu, “Jika aku melangkah satu langkah lagi, aku akan hancur menjadi debu.”
Hamba sejati Allah terlindungi dari setan dan perlawanan hawa nafsunya karena ia memiliki perisai keikhlasan dan kesucian.
“Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, akan kusesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yg ikhlas.” (Shad: 82-83)
Manusia takkan bisa menapai hakikat kecuali dengan menyucikan dirinya, karena sifat-sifat duniawi tidak akan meninggalkannya hingga ia meraih hakikat. Itulah kebenaran dan kebaikan sejati. Ketika ia mencapai ilmu tentang hakikat Allah, semua kebodohannya sirna. Tingkatan ini takkan bisa dicapai melalui pembelajaran. Hanya Allah yg dapat mengajarkannya, tanpa perantara. Dialah satu-satunya guru yg memberikan pengetahuan seperti yg diberikan kepada Khidir. Orang yg dianugerahi pengetahuan akan meraih tingkatan makrifat sehngga ia mengenal Tuhannya dan menyembah-Nya.
Ia akan dapat melihat ruh suci dan kekasih Allah yakni Nabi Muhammad saw, yg akan berbincang dengannya mengenai segala sesuatu, dari awal hingga akhir. Semua nabi dan orang suci akan memberinya kabar gembira mengenai janji persatuan dengan Sang Kekasih. Allah menguraikan keadaan ini dalam ayat Al-Qur’an:
“Dan siapa saja yg mentaati Allah dan rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang yg dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan orang saleh. Dan mereka itulah teman yg sebaik-baiknya. “ (al-Nahl: 69)
Orang yg tak dapat menemukan ilmu itu dalam dirinya tidak akan menjadi orang bijak meskipun membaca jutaan kitab. Hasil yg dapat diharapkan dari pencapaian ilmu lahir tentang berbagai hal yg bersifat pasti adalah surga: semua yg akan dilihatnya di sana adalah manifestasi sifat-sifat Allah dalam bentuk cahaya. Sesempurna apa pun pengetahuannya mengenai hal-hal yg nyata dan abstrak takkan bisa membantunya memasuki kawasan suci, yg dekat kepada Allah. Seseorang harus terbang menuju ke sana. Agar bisa terbang, ia butuh dua sayap. Hamba sejati Allah adalah orang yg terbang ke sana dengan sayap ilmu lahir dan batin, tak pernah berhenti di tengah jalan, dan tak pernah terhambat. Dalam sebuah hadist qudsi, Allah berfirman:
“Hamba-Ku, jika kau ingin berada di dekat-Ku, jangan menaruh perhatian terhadap dunia ini, atau alam malakut, atau bahkan alam yg lebih tinggi tempat kau menerima sifat-sifat ketuhanan-Ku.”
Alam materi ini adalah godaan atau setan bagi orang berilmu. Alam malakut adalah godaan bagi kaum bijak, dan alam sifat-sifat Ilahi adalah godaan bagi ahli hakikat. Siapa saja yg merasa puas pada salah satunya, ia tertolak dari karunia Allah yg akan membuatnya lebih dekat kepada-Nya. Jika seseorang terperdaya oleh semua godaan ini, ia akan berhenti, tak bisa meneruskan langkah, dan tak kuasa bergerak ke tempat yg lebih tinggi lagi. Meskipun bertujuan unuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta ia takkan pernah bisa mencapainya. Ia terhalang; ia hanya memiliki sebelah sayap.
Namun, para ahli hakikat menerima karunia itu dari Allah; anugrah yg tak dapat dilihat mata, tak didengar telinga, atau tak terlintas dalam hati. Itulah surga kedekatan; anugerah keintiman. Di sana tak ada istana yg terbuat dari permata, juga tak ada pelayan-pelayan yg cantik belia. Setiap orang harus mengetahui bagiannya dan tak menghendaki apa yg bukan haknya. Hadrah ‘Ali r.a. berkata, “Semoga Allah menunjukkan rahmat-Nya kepada orang yg mengetahui bagiannya, yg sadar untuk tetap berada di batas-batasnya, yg mengendalikan lisannya, dan yg tidak menghabiskan usianya dalam kesia-siaan.”
Orang yg mengetahui harus menyadari bahwa anak ruh yg dilahirkan di dalam hatinya merupakan hakikat sejati kemanusiaan. Ia harus mendidik anak hati ini dengan ajaran tauhid dan melatihnya agar senantiasa mengingat keesaan, menjauhkan diri dari alam materi dan kemajemukan ini, serta mencari alam ruhani, alam rahasia, yg hanya ditempati oleh dzat Alalh. Pada hakikatnya, tak ada tempat lain selain tempat itu; tempat yg tak memiliki awal maupun akhir. Sang anak hati mencapai kawasan yg tak terbatas itu seraya melihat segala sesuatu yg tak pernah dilihat siapa pun, yg tak terkatakan lisan siapa pun, dan yg tak pernah diceritakan siapa pun. Tempat itu adalah tanah air orang yg telah mencampakan diri mereka sendiri merasakan kebersatuan dengan Tuhan, mata keesaan. Ketika melihat keindahan dan karunia Tuhan, wujud mereka yg fana tak lagi bersisa. Seseorang yg menatap matahari takkan bisa melihat sesuatu yg lain. Jika keindahan dan karunia Allah mengejawantah, masih adakah diri? Tentu tak ada.
Nabi ‘Isa a.s. bersabda, “Manusia harus dilahirkan dua kali untuk mencapai alam malakut, bagaikan burung yg dilahirkan dua kali.” Kelahiran yg kedua adalah kelahiran makna dari perbuatan, kelahiran jiwa dari daging. Kemungkinan itu ada dalam diri manusia. Itulah rahasia manusia. Ia lahir dari persekutan ilmu agama dengan kesadaran akan hakikat, sebagaimana semua anak lahir karena perpaduan dua jenis air.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yg bercampur; Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (al-Insan: 2)
Ketika makna mengejawantah dalam wujud, ia dapat melewati bagian yg dangkal menuju samudra penciptaan dan menyelam di kedalaman perintah Allah. Dibandingkan alam ruhani, seluruh alam materi ini hanyalah seperti setetes air samudra. Hanya jika semua ini dapat dipahami, kekuatan ruhani dan cahaya rahasia sifat Ilahi, hakikat sejati, akan memancar ke dunia nirkata dan nirswara.
Syajaratul Yaqin (Pohon Keimanan)
Kamis, 16 Juni 2016
BELAJAR DARI POHON
Suatu ketika, seorang guru bertanya pada Sang Maha Guru, “Wahai Maha Guru, aku ingin menjadi guru yang sejati bagi anakku, juga bagi murid-muridku. Apakah Maha Guru memiliki pesan untukku, agar setiap kali mengajar aku akan selalu teringat pesan bijaksanamu?”
Sang Maha Guru terdiam sejenak. Lalu sambil tersenyum arif ia bertanya, “Apakah kamu pernah melihat pepohonan di sekitarmu?” “Ya, tentu saja,” kata si guru. Sang Maha Guru bertanya kembali, “Apakah kamu benar-benar melihat dan memperhatikan apa yang mereka lakukan?” Si guru menggaruk-garuk kepalanya, “Setahuku mereka diam saja dan tidak melakukan apa-apa.” Sang Maha Guru tersenyum lagi, lalu mulailah ia berpesan :
“Jadilah seperti pohon. Perhatikanlah, ia diam tak banyak bicara hingga kamu tidak menyadari apa yang dilakukannya. Padahal ia selalu memberimu udara untuk dihisap. Lihatlah bagaimana ia memberi udara pada semua orang tanpa memandang apakah kamu miskin atau kaya. Atau apakah kamu lahir dari kelompok etnik tertentu. Ia memberi udara bagi semua orang tanpa memandang agama, ras dan suku bangsa. Apakah kamu bersedia membagi ilmumu untuk semua orang tanpa pilih kasih?”
“Jadilah seperti pohon. Ia tidak banyak berbicara tapi terus bertumbuh setiap hari. Jika sudah tidak bertumbuh maka ia akan mati. Apakah dirimu merasa terus bertumbuh?” “Jadi seperti pohon. Apabila sudah besar, ia akan menaungi siapa saja yang berada dibawahnya, tak peduli itu manusia atau hewan. Apakah kamu merasa dirimu sudah semakin besar dan menaungi apa saja yang berada dibawahmu?”
“Jadilah seperti pohon yang selalu menyejukkan, memperindah dan mempercantik tempat-tempat gersang. Apakah kamu merasa kehadiranmu telah membuat hati-hati yang gersang menjadi sejuk dan indah kembali?”
“Jadilah seperti pohon. Satu-satu kehidupan yang tumbuh ke atas dan berhasil melawan kuatnya gravitasi Bumi. Apakah kamu merasa dirimu telah berhasil melawan kuatnya godaan dan tantangan akan terus bertumbuh menjadi manusia dan guru yang lebih baik dari hari ke hari?”
“Jadilah seperti pohon yang menyuburkan tanah di sekitarnya dan menyimpan air di bawahnya untuk kehidupan semua makhluk hidup lainnya. Apakah kamu sudah menyuburkan lingkungan sekitarmu?”
“Jadilah seperti pohon, Seandainya sudah mati pun tubuhnya masih berguna bagi kesuburan tanah atau menjadi bahan baku tempat tinggal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.”
Menurut Anda, apakah kita sudah lebih baik dari pohon?
SYAJARATUL YAQIN (Pohon Keimanan)
Rabu, 08 Juni 2016
DETIK-DETIK RASULULLAH SAW DIBANGKITKAN
Ketika sangkakala Malaikat Israfil ditiup, maka
kiamat pun terjadi. Pada saat itu orang-orang berlari tunggang-langgang karena
ketakutan, sampai-sampai wanita yang hamil pun akan melupakan bayi yang
dikandungnya. Ketika huru-hara kiamat terjadi, maka setiap makhluk yang ada di
bumi akan binasa, bahkan para setan pun mencoba lari dari kejaran malaikat
maut, namun malaikat maut dengan mudah mencabut nyawa setan-setan. Ketika semua
makhluk sudah binasa, maka yang tersisa hanyalah malaikat. Kemudian Allah akan
memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawa para malaikat seperti Jibril,
Israfil, Mikail, malaikat-malaikat penyangga Arsy Allah, dan malaikat-malaikat
lainnya. Kemudian Allah akan memerintahkan malaikat maut untuk mencabut
nyawanya sendiri. Dengan demikian, hanya Allah satu-satunya Yang Tetap Hidup.
Saat semua makhluk sudah binasa dan keadaan diliputi kehampaan selama beberapa waktu lamanya, kemudian Allah akan menghidupkan Israfil, Mikail, Jibril, dan malaikat-malaikat yang menyangga singgasana Allah. Dia akan memerintahkan Israfil untuk meniup sangkakala sekali lagi untuk memulai penghisaban.
Saat semua makhluk sudah binasa dan keadaan diliputi kehampaan selama beberapa waktu lamanya, kemudian Allah akan menghidupkan Israfil, Mikail, Jibril, dan malaikat-malaikat yang menyangga singgasana Allah. Dia akan memerintahkan Israfil untuk meniup sangkakala sekali lagi untuk memulai penghisaban.
Allah mengirim Jibril dan Mikail dengan kunci
surga untuk membuka makam dari seorang manusia yang paling mulia di dunia. Jadi
mereka datang dengan misi spesial untuk membuka makam Nabi Muhammad S.A.W. di Madinah.
Setelah bangkit dari tidur panjangnya, Rasulullah S.A.W. bertanya “Hari apa ini? Apa yang telah terjadi?”
Jibril A.S. menjawab “Sekarang adalah hari dimana amalan manusia akan dihisab.”
Kalimat berikutnya yang keluar dari bibir Rasulullah S.A.W. adalah “Bagaimana keadaan umatku?”
Subhanallah, beliau menanyakan tentang umatnya! beliau tidak menanyakan dirinya, istri, atau anak-anaknya, namun beliau bertanya tentang umatnya, karena beliau tahu bahwa umat Islam membutuhkannya pada hari itu.
Saudara/saudariku sesama Muslim, apakah kalian mencintai Rasulullah S.A.W.? Karena demi Allah, Rasulullah sungguh mencintai kalian.
Setelah bangkit dari tidur panjangnya, Rasulullah S.A.W. bertanya “Hari apa ini? Apa yang telah terjadi?”
Jibril A.S. menjawab “Sekarang adalah hari dimana amalan manusia akan dihisab.”
Kalimat berikutnya yang keluar dari bibir Rasulullah S.A.W. adalah “Bagaimana keadaan umatku?”
Subhanallah, beliau menanyakan tentang umatnya! beliau tidak menanyakan dirinya, istri, atau anak-anaknya, namun beliau bertanya tentang umatnya, karena beliau tahu bahwa umat Islam membutuhkannya pada hari itu.
Saudara/saudariku sesama Muslim, apakah kalian mencintai Rasulullah S.A.W.? Karena demi Allah, Rasulullah sungguh mencintai kalian.
Sebagai catatan, ada sebuah hadist yang
disabdakan Rasulullah berkenaan dengan kita. Pada suatu hari, Rasulullah sedang
duduk bersama para sahabatnya.
Kemudian dia berkata “Aku sangat rindu pada kekasihku.”
Rasulullah bersabda “Kalian semua kuanggap sebagai sahabat, namun aku rindu dengan kekasihku.”
Mereka bertanya “Siapa kekasihmu?”
Rasulullah bersabda “Orang-orang setelahku, yang tak pernah melihatku tapi beriman kepadaku.”
Kesimpulan dari hadist di atas adalah Rasulullah S.A.W. menganggap kita sebagai kekasihnya. Apakah kita juga mencintainya sebagaimana beliau mencintai kita? Karena pada hari penghisaban saudara/saudari Muslim-ku, beliau akan menanyakan tentang kita.
(Pengasuh Saung Ketenangan Cakra Jiwa)
Minggu, 29 Mei 2016
Langganan:
Postingan (Atom)