Kamis, 23 Juni 2016

HAKIKAT PUASA SEBAGAI SARANA MENEMUI ALLAH


“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya”. (HR Bukhari)

‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw.

Segera memanggilnya. Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Nabi saw. Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu?

Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)

Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah Saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.

Istilah “shaum” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.


Dari pengertian ini, terlihat dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Tetapi dalam bahasa Indonesia, kedua istilah itu diartikan sama.

Arti puasa yang sebenarnya adalah menahan diri atau mengendalikan dari apa saja, termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara. Hal ini dapat disimak dari ucapan Maryam tatkala dirinya diberondong pertanyaan perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih.

“ …. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)

Dalam ayat ini, Maryam menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya, yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun.

Sementara itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari”.Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat wanita yang ditegur Nabi Saw.

Memang, tidak terlalu salah bila hal itu didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata.

Menurut fiqih, puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Dengan demikian, kewajiban puasa seseorang pun telah tertunaikan. Namun, ini tidak memadai bila diukur dengan menggunakan parameter Sunnah Nabi.

Oleh karena itu, kaum Sufi (‘urafa’) membagi puasa dalam beberapa tingkatan.

Menurut kaum Sufi puasa dapat dipilah dalam tiga kategori : puasa perut, puasa nafsu, dan puasa qalbu. Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih (fuqaha).

Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali. Dalam terminologi Imam Al Ghazali, puasa seperti ini disebut puasa awam.

“Dalam khutbah menjelang bulan Ramadhan, Nabi Saw. dengan jelas mengatakan : “Peliharalah lidahmu, tundukan pandanganmu dari sesuatu yang matamu tidak dihalalkan melihatnya, dan palingkan pendengaran dari sesuatu yang haram untuk didengar telingamu” (HR Bukhari)

Karena itu, puasa perut tentu saja tidak bernilai di mata Allah dan tidak akan menghasilkan apa pun. Paling banter, yang dihasilkannya hanyalah lapar dan dahaga saja.

“Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata” (HR An Nasa’i)

Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa hawa nafsu. Imam Abi Thalib menegaskan, “Puasa hawa nafsu lebih baik dari pada puasa perut”.

Puasa hawa nafsu adalah pada dasarnya adalah puasa seperti yang didefinisikan para ulama fiqih, tetapi dibarengi dengan upaya mengendalikan seluruh aktivitas inderawi dan anggota tubuh dari segala yang diharamkan Allah.

“Apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Al Hadits)

Dalam sebuah riwayat, misalnya disebutkan juga, bahwa Abu Abdillah r.a. (Imam Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaran, penglihatan, dan kulitmu. Janganlah samakan hari puasamu dengan hari berbukamu”.

Dalam riwayat lain, Imam Ja’far ash-Shadiq r.a mengatakan, “Jika engkau berpuasa, maka kendalikan pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang diharamkan. Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan. Tinggalkan perilaku yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila mampu, diamlah dari segala pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah. Jangan jadikan hari-hari puasamu seperti hari-hari fitrahmu”.

Puasa hawa nafsu (Imam Al Ghazali menyebutnya puasa khusus) memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menjalankan puasa itu, selain niat dan tekat yang kuat, diperlukan juga pertolongan dari Allah.

Tingkatan puasa terakhir adalah puasa qalbu. Inilah tingkatan puasa paling tinggi. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Puasa qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.

Puasa qalbu jauh lebih baik dari puasa hawa nafsu. Sementara itu, puasa hawa nafsu lebih baik daripada puasa perut. Puasa qalbu dalam pandangan Sayidina Ali identik dengan puasa khushush al-khushush menurut Imam Al Ghazali.

Inilah gabungan puasa jenis pertama dan puasa jenis kedua plus “puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah: (Ihya’ ‘Ulumiddin, 1 : 277).

Dalam tingkatan ini, puasa sudah dianggap batal hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah. Karena pada waktu kita melakukan puasa qalbu atau puasa khushush al khushush saat itu kita sedang bertemu dengan Allah.

Demikianlah tingkatan-tingkatan puasa dalam pandangan kaum Sufi. Sebuah pertanyaan menarik segera mengemuka : Puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan besar mencapai tujuannya seperti dinyatakan Al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan puasa.

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 183)

“Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya “. (HR Bukhari)

“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badan mu telanjang, mudah-mudahanan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. (HR Bukhari)

Berdasarkan dalil tersebut, terlihat dengan jelas bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan kewajiban yang juga diperintahkan oleh Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul.

Hal ini berarti ada persamaan antara puasa umat Islam dengan puasa umat sebelumnya, tetapi pertanyaannya, puasa yang seperti apa? Kemudian, dalil tersebut juga menjelaskan bahwa tujuan orang berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa.

Apakah yang dimaksud dengan takwa?

Dalam dalil tersebut juga dijelaskan bahwa orang berpuasa akan mendapat kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya. Puasa yang bagaimanakah yang dapat menghantarkan kita bertemu dengan Tuhan kita?

Kata takwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang arti adalah memelihara atau menjaga. Tujuan dari orang yang berpuasa adalah agar ia terus memelihara iman yang telah ditanam oleh Allah dalam qalbunya agar ketika ia meninggal dunia tetap dalam keadaan beriman kepada Allah.

Apakah iman itu ? Pada hakikatnya iman itu adalah Nur Allah yang telah disaksikan oleh setiap orang yang beriman ketika ia bertemu dengan Allah untuk pertamakalinya.

Pertemuan dengan Allah itu dapat terjadi lantaran ia melakukan ibadah puasa. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa ibadah puasa dapat digunakan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah, dan pertemuan tersebut merupakan pengalaman yang sangat menggembirakan bagi para pelaku puasa.

Banyak ulama yang berpendapat bahwa kegembiraan bertemu dengan Tuhan karena melakukan ibadah puasa, didapatkan nanti ketika kita berada di akhirat kelak, sehingga banyak umat Islam tidak peduli lagi dengan puasanya apakah dapat menghantarkan kepada pertemuan dengan Tuhan atau tidak.

Padahal hadits tersebut tidak menjelaskan pertemuan dengan Allah itu nanti di “akhirat”. Akan tetapi justru pertemuan dengan Allah itu terjadi ketika orang itu berpuasa. Maka merugilah orang yang berpuasa tetapi tidak merasakan kegembiraan dan kenikmatan bertemu dengan Tuhannya.

“Berapa banyak orang melakukan puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga semata”. (HR An Nasai dan Ibnu Majah)

Dengan tegas Al Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyaful Mahjub mengatakan : “ Buah lapar adalah menyaksikan Allah (musyahadah), sedangkan caranya adalah penundukan hawa nafsu. (mujahadah).

Kenyang yang dipadu dengan menyaksikan Allah (musyahadah) lebih baik daripada lapar yang terpadu dengan mujahadah, karena menyaksikan Allah adalah medan perang manusia, sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak”.

Kemudian Al Hujwiri menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasihat dan Rasulullah Saw. menjawab : “Tahanlah lidahmu dan indera-inderamu”.

Menurut Al Hujwiri, menahan indera-indera adalah mujahadat yang sempurna, karena semua pengetahuan diperoleh melalui panca indera : penglihatan,pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan.

Empat dari indera-indera itu mempunyai suatu tempat yang khusus, tetapi yang kelima, yakni perabaan, tersebar ke seluruh badan. Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melewati pintu ini, kecuali pengetahuan intuitif dan Ilham Tuhan, dan pada masing-masing terdapat kesucian dan ketidaksucian.

Karena, sebagaimana terbuka bagi pengetahuan, akal dan ruh, demikian pula mereka terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang merupakan organ-organ yang berperan dalam ketaatan dan dosa, juga berperan dalam kebahagiaan dan penderitaan.

Karena itu, bagi orang yang melakukan puasa diharapkan untuk memenjarakan semua indera itu agar mereka bisa berpaling dari ketidaktaatan kepada ketaatan.

Berpantang hanya dari makanan dan minuman adalah permainan anak-anak. Orang harus berpantang dari kesenangan-kesenangan yang tidak berguna dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, bukan dari makanan yang halal.

Selasa, 21 Juni 2016

INILAH KAMI YANG BERDIRI DI KAKI KAMI SENDIRI SEBAGAI WUJUD SYUKUR ATAS KARUNIA ALLAH AZZA WA JALLA








































KENAPA DI BULAN ROMADHON MASIH ADA MAKSIAT


“Mbah Qodiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiim” Teriak Pak RW dan Pak RT berbarengan sembari berlarian kecil mengejar sosok lelaki tua yang selalu bersahaja, di belakangnya 5 warga ikut berlarian kecil mengejar mbah Qodim yang sedang berjalan menuju Musholla kecil di Desa Suka Damai. Sembari tersenyum mbah Qodim memperlambat langkahnya. Setelah mereka semua sejajar, Pak RT pun mengucapkan salam dan dijawab lembut oleh mbah Qodim. Sudah bisa ditebak, tak lama pak RW mengajukan pertanyaan sambil cengengesan “Mbah, kami ada uneg-uneng nih, tolong pencerahannya” Mbah Qodim “Monggo pak RW”. Pak RW “Gini mbah, berdasarkan hadist nih Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” (HR. Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079) dan “Jika masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu rahmat dibukan, pintu-pintu Jahannam ditutup dan setan-setan pun diikat dengan rantai.” (HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079) lalu kenapa masih banyak manusia berbuat maksiat dan kejahatan mbah? Sebagai orang awam kami kadang-kadang bingung mbah menjawab pertanyaan kawan-kawan, hadis tersebut shoheh dan diyakini kebenarannya namun realita benerjuga di bulan suci ini masih banyak yang melakukan kemaksiatan.” Mbah Qodim melirik orang-orang yang berjalan mengiringinya sambil tersenyum “Pak RT kenal sama si Paijo yang rumahnya di perempatan depan itu pak?” Pak RW “Ohhh yang suka minum susu genderuwo (TUAK) itu yah bah?”

Mbah Qodim “Iya pak RW”

Pak RW “Lalu kenapa mbah?” Mbah Qodim “Setahu saya dulu dia bukan peminum pak RW”. Pak RW “Iya mbah , dia tuh ketularan si Jono yang saat ini di sel di LP, mbah.” Mbah Qodim berhenti, lalu memandangi semuanya “Itu dia, takkala si Paijo berteman dengan Jono setiap hari ia dihidangkan Tuak, karena sudah terbiasa itulah jadinya kecanduan, lalu saat Jono ditangkap aparat lalu di penjara, si Paijo tanpa Jonopun tetap meminum-minuman susu genderuwo tersebut, Artinya Bulan Suci Rumodhon ini hanya sebulan saja di belenggunya syetan, pak, 11 bulan lainnya ia mencari teman, nah pas syetan di penjara sekalipun yang menjadi teman-temannya syetan itu akan terlihat jiwa dan hatinya walau tanpa ditemani oleh syetan, bahkan bibir mereka selalu mengutuk dan menyatakan bahwa syetan adalah musuh mereka, namun di dalam hati hakekatnya mereka adalah teman sejati syetan pak”. Pak RT “Jadi manusia yang melakukan maksiat di bulan romadhon ini sesungguhnya tergerak berbuat demikian tanpa godaan syetan mbah?” Mbah Qodim kembali melanjutkan perjalanan “Siapapun yang berteman baik sama pak Polisi, Pak Tentara, Pak Lurah, Pak RT hehhee mereka akan dikatakan teman Pak Polisi, teman pak Tentara, teman pak Lurah atau pak RT, walau hanya teman, mereka akan fasih mengikuti prilaku siapa yang dijadikan temannya itu, nah bertepatan dengan bulan suci inilah Allah SWT ingin memberi dinding atau hijab kepada Hamba Nya yang benar-benar ingin berubah, maka istilahnya di bulan ini ada puasa ular dan puasa ulat.” Pak RW “Apa itu mbah maksudnya?” Mbah Qodim “Puasa ular itu artinya ada saatnya ularharus ganti kulit, dia harus berdiam diri seperti puasa, namun setelah ganti kulit ternyata ia kembali lagi menjadi ular, contoh si Paijo, bulan ini ia berpuasa, lalu saat Jono keluar dari penjara pasti dia akan menemui Paijo lagi dan mengajak untuk minum susu genderuwo, bila Paijo melaksanakan puasa ular yaah dia akan menjadi teman sejatinya Jono lagi pak. Lain halnya bila Paijo puasa ulat, dari ulat dia puasa menjadi kepompong lalu berubah menjadi kupu-kupu, ia terbang meninggalkan masa dimana ia menjadi ulat, ia lulus saat puasa satu bulan ini menjadi pribadi yang baru, walau Jono kembali merayunya maka Paijo sudah memiliki sayap untuk terbang meninggalkannya.” Pak RT “Berarti kita harus benar-benar puasa yaa mbah? bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja?” Mbah Qodim “In Syaa Allah demikian pak RT, bila kita benar-benar Puasa dengan sebenar-benarnya dan lulus maka kita akan bertemu Idul Fitri, Idul itu kembali, Fitri itu dari kata Fatir (permulaaan) atau Futuro atau Fitroh, tutup buku yang lalu tuliskan pada lembaran yang baru, itu mengapa Allah SWT memberikan Hari Raya Kemenangan yang bernama Idul Fitri, kembali seperti bayi kembali atau membuka lembaran baru, ayoo kita sudah sampai Musholla, kita persiapkan untuk Azan Magrib.”

Minggu, 19 Juni 2016

TERIMA KASIH


Santri Saung Ketenangan Cakra Jiwa mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Hamba Allah yang sudah beramal jariah berupa Sejadah, Sorban, Kopiyah dan Kain sarung ... Semoga Allah membalas kebaikan panjenengan dengan ridho-Nya.. Aamiin ..

DOA


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagimu. “[QS. Al-mukmin:60].

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita agar berdo’a kepada-Nya dan Dia akan memenuhi permohonan hamba-Nya.

berkenaan dengan ini Rasulullah Saw bersabda:

“Tidaklah seorang Muslim pun berdo’a dengan do’a yang di dalamnya tidak berisi dosa dan pemutus tali silaturahmi melainkan Allah memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: Allah akan menyegerakan permohonannya itu (diperoleh di dunia) atau Allah akan menyimpannya untuknya di akhirat kelak, atau Dia memalingkan darinya keburukan yang setimpal dengan do’anya itu.” [HR. Ahmad, hadits shahih].

Jumat, 17 Juni 2016

Agama Laksana Pohon



Di Saung Ketenangan Cakra Jiwa membagi ilmu pengetahuan ke dalam empat bagian. Bagian pertama berkaitan dengan kewajiban dan aturan agama mengenai segala sesuatu dan segala perbuatan di dunia ini. Bagian kedua berkaitan dengan makna batin dan sebab di balik semua ajaran ini. Bagian ini disebut tasawuf—pengetahuan konseptual mengenai segala sesuatu yg bersifat zhanni (tidak pasti). Bagian ketiga adalah falsafah, yg mengkaji rahasia hakekat nurani. Bagian keempat membahas hakikat batin ilmu ini, yakni ilmu mengenai kebenaran. Manusia sempurna harus mempelajari dan mengetahui semua ilmu ini dan mencari jalan untuk meraihnya.

Rasulullah saw bersabda, “Agama adalah pohon, tasawuf adalah cabangnya, falsafah adalah daunnya, kebenaran adalah buahnya. Dan semua itu terkandung dalam Al-Qur’an, dengan tafsir, uraian, dan takwilnya.”

Dalam kitab al-Majma’, kata tafsir—penjelasan, dan ta’wil—tafsir dengan analogi didefinisikan sebagai berikut: “Tafsir Al-Qur’an merupakan penjelasan untuk memberikan pemahaman kepada kaum awam, sedangkan takwil adalah uraian terhadap makna batin melalui ilham yg diterima seorang mukmin sejati, takwil hanya diperuntukkan bagi hamba Allah yg istimewa, yg berpendirian teguh, setia kepada cita-cita ruhani, dan menguasai ilmu untuk memilah antara yg benar dan yg salah. Layaknya pohon kurma yg akarnya menghujam ke bumi, kaki mereka berdiri kokoh di alam materi ini; dan bagaikan pohon kurma yg rantingnya menjulang ke angkasa, hati dan pikiran mereka pun menjulang meraih ilmu samawi.” Berkat rahmat Allah, keteguhan yg tanpa keraguan bertahta di pusat hati mereka. Tingkat keteguhan ini sejajar dengan paruh kedua kalimat tauhid: la ilaha illallaah—illallah, “kecuali Allah”, yg menegaskan keesaan.

“Dialah yg menurunkan Al-Kitab kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yg muhkamat, itulah pokok-pokok Al-Qur’an dan yg lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Orang yg hatinya condong kepada kesesatan mengikuti sebagian ayat-ayat yg mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yg mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yg mendalam ilmunya beriman kepada ayat-ayat yg mutasyabihat, “semuanya dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang yg berakal.” (al ‘Imran: 7)

Seorang mufasir menjelaskan ayat ini bahwa seandainya pintu ayat ini dibuka, semua pintu rahasia alam batin juga akan dibuka.

Hamba sejati wajib melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia juga wajib melawan hawa nafsu dan syahwatnya. Nafsu melawan agama dengan memunculkan khayalan yg bertentangan dengan kenyataan. Pada tataran tasawuf, nafsu yg licik membujuk manusia untuk menerima dan mengikuti sebab-sebab dan konsep-konsep yg seolah-olah benar, mengikuti pesan kenabian dan ucapan para wali yg tidak sahih, serta mengikuti para guru atau pemikiran yg sesat. Pada tataran falsafah, nafsu selalu berupaya mendorong manusia untuk mengaku-aku sebagai wali atau bahkan Tuhan—dosa terbesar karena menjadi sekutu bagi Allah:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yg menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya…” (al-Furqan: 43)
Berbeda dengan ketiga tingkatan ilmu yg pertama, nafsu maupun setan tidak akan sampai pada tataran kebenaran, atau hakikat—bahkan para malaikat pun tak dapat menyentuhnya. Siapa pun, kecuali Allah, yg mendekati kawasan itu akan hancur menjadi debu, sebagaimana dikatakan oleh Jibril a.s, kepada Nabi Muhammad ketika ia tiba di tepi kawasan itu, “Jika aku melangkah satu langkah lagi, aku akan hancur menjadi debu.”

Hamba sejati Allah terlindungi dari setan dan perlawanan hawa nafsunya karena ia memiliki perisai keikhlasan dan kesucian.

“Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, akan kusesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yg ikhlas.” (Shad: 82-83)

Manusia takkan bisa menapai hakikat kecuali dengan menyucikan dirinya, karena sifat-sifat duniawi tidak akan meninggalkannya hingga ia meraih hakikat. Itulah kebenaran dan kebaikan sejati. Ketika ia mencapai ilmu tentang hakikat Allah, semua kebodohannya sirna. Tingkatan ini takkan bisa dicapai melalui pembelajaran. Hanya Allah yg dapat mengajarkannya, tanpa perantara. Dialah satu-satunya guru yg memberikan pengetahuan seperti yg diberikan kepada Khidir. Orang yg dianugerahi pengetahuan akan meraih tingkatan makrifat sehngga ia mengenal Tuhannya dan menyembah-Nya.

Ia akan dapat melihat ruh suci dan kekasih Allah yakni Nabi Muhammad saw, yg akan berbincang dengannya mengenai segala sesuatu, dari awal hingga akhir. Semua nabi dan orang suci akan memberinya kabar gembira mengenai janji persatuan dengan Sang Kekasih. Allah menguraikan keadaan ini dalam ayat Al-Qur’an:
“Dan siapa saja yg mentaati Allah dan rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang yg dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan orang saleh. Dan mereka itulah teman yg sebaik-baiknya. “ (al-Nahl: 69)

Orang yg tak dapat menemukan ilmu itu dalam dirinya tidak akan menjadi orang bijak meskipun membaca jutaan kitab. Hasil yg dapat diharapkan dari pencapaian ilmu lahir tentang berbagai hal yg bersifat pasti adalah surga: semua yg akan dilihatnya di sana adalah manifestasi sifat-sifat Allah dalam bentuk cahaya. Sesempurna apa pun pengetahuannya mengenai hal-hal yg nyata dan abstrak takkan bisa membantunya memasuki kawasan suci, yg dekat kepada Allah. Seseorang harus terbang menuju ke sana. Agar bisa terbang, ia butuh dua sayap. Hamba sejati Allah adalah orang yg terbang ke sana dengan sayap ilmu lahir dan batin, tak pernah berhenti di tengah jalan, dan tak pernah terhambat. Dalam sebuah hadist qudsi, Allah berfirman:
“Hamba-Ku, jika kau ingin berada di dekat-Ku, jangan menaruh perhatian terhadap dunia ini, atau alam malakut, atau bahkan alam yg lebih tinggi tempat kau menerima sifat-sifat ketuhanan-Ku.”

Alam materi ini adalah godaan atau setan bagi orang berilmu. Alam malakut adalah godaan bagi kaum bijak, dan alam sifat-sifat Ilahi adalah godaan bagi ahli hakikat. Siapa saja yg merasa puas pada salah satunya, ia tertolak dari karunia Allah yg akan membuatnya lebih dekat kepada-Nya. Jika seseorang terperdaya oleh semua godaan ini, ia akan berhenti, tak bisa meneruskan langkah, dan tak kuasa bergerak ke tempat yg lebih tinggi lagi. Meskipun bertujuan unuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta ia takkan pernah bisa mencapainya. Ia terhalang; ia hanya memiliki sebelah sayap.

Namun, para ahli hakikat menerima karunia itu dari Allah; anugrah yg tak dapat dilihat mata, tak didengar telinga, atau tak terlintas dalam hati. Itulah surga kedekatan; anugerah keintiman. Di sana tak ada istana yg terbuat dari permata, juga tak ada pelayan-pelayan yg cantik belia. Setiap orang harus mengetahui bagiannya dan tak menghendaki apa yg bukan haknya. Hadrah ‘Ali r.a. berkata, “Semoga Allah menunjukkan rahmat-Nya kepada orang yg mengetahui bagiannya, yg sadar untuk tetap berada di batas-batasnya, yg mengendalikan lisannya, dan yg tidak menghabiskan usianya dalam kesia-siaan.”

Orang yg mengetahui harus menyadari bahwa anak ruh yg dilahirkan di dalam hatinya merupakan hakikat sejati kemanusiaan. Ia harus mendidik anak hati ini dengan ajaran tauhid dan melatihnya agar senantiasa mengingat keesaan, menjauhkan diri dari alam materi dan kemajemukan ini, serta mencari alam ruhani, alam rahasia, yg hanya ditempati oleh dzat Alalh. Pada hakikatnya, tak ada tempat lain selain tempat itu; tempat yg tak memiliki awal maupun akhir. Sang anak hati mencapai kawasan yg tak terbatas itu seraya melihat segala sesuatu yg tak pernah dilihat siapa pun, yg tak terkatakan lisan siapa pun, dan yg tak pernah diceritakan siapa pun. Tempat itu adalah tanah air orang yg telah mencampakan diri mereka sendiri merasakan kebersatuan dengan Tuhan, mata keesaan. Ketika melihat keindahan dan karunia Tuhan, wujud mereka yg fana tak lagi bersisa. Seseorang yg menatap matahari takkan bisa melihat sesuatu yg lain. Jika keindahan dan karunia Allah mengejawantah, masih adakah diri? Tentu tak ada.

Nabi ‘Isa a.s. bersabda, “Manusia harus dilahirkan dua kali untuk mencapai alam malakut, bagaikan burung yg dilahirkan dua kali.” Kelahiran yg kedua adalah kelahiran makna dari perbuatan, kelahiran jiwa dari daging. Kemungkinan itu ada dalam diri manusia. Itulah rahasia manusia. Ia lahir dari persekutan ilmu agama dengan kesadaran akan hakikat, sebagaimana semua anak lahir karena perpaduan dua jenis air.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yg bercampur; Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (al-Insan: 2)

Ketika makna mengejawantah dalam wujud, ia dapat melewati bagian yg dangkal menuju samudra penciptaan dan menyelam di kedalaman perintah Allah. Dibandingkan alam ruhani, seluruh alam materi ini hanyalah seperti setetes air samudra. Hanya jika semua ini dapat dipahami, kekuatan ruhani dan cahaya rahasia sifat Ilahi, hakikat sejati, akan memancar ke dunia nirkata dan nirswara.


Syajaratul Yaqin (Pohon Keimanan) 

Kamis, 16 Juni 2016

BELAJAR DARI POHON


Suatu ketika, seorang guru bertanya pada Sang Maha Guru, “Wahai Maha Guru, aku ingin menjadi guru yang sejati bagi anakku, juga bagi murid-muridku. Apakah Maha Guru memiliki pesan untukku, agar setiap kali mengajar aku akan selalu teringat pesan bijaksanamu?”
Sang Maha Guru terdiam sejenak. Lalu sambil tersenyum arif ia bertanya, “Apakah kamu pernah melihat pepohonan di sekitarmu?” “Ya, tentu saja,” kata si guru. Sang Maha Guru bertanya kembali, “Apakah kamu benar-benar melihat dan memperhatikan apa yang mereka lakukan?” Si guru menggaruk-garuk kepalanya, “Setahuku mereka diam saja dan tidak melakukan apa-apa.” Sang Maha Guru tersenyum lagi, lalu mulailah ia berpesan :

“Jadilah seperti pohon. Perhatikanlah, ia diam tak banyak bicara hingga kamu tidak menyadari apa yang dilakukannya. Padahal ia selalu memberimu udara untuk dihisap. Lihatlah bagaimana ia memberi udara pada semua orang tanpa memandang apakah kamu miskin atau kaya. Atau apakah kamu lahir dari kelompok etnik tertentu. Ia memberi udara bagi semua orang tanpa memandang agama, ras dan suku bangsa. Apakah kamu bersedia membagi ilmumu untuk semua orang tanpa pilih kasih?”

“Jadilah seperti pohon. Ia tidak banyak berbicara tapi terus bertumbuh setiap hari. Jika sudah tidak bertumbuh maka ia akan mati. Apakah dirimu merasa terus bertumbuh?” “Jadi seperti pohon. Apabila sudah besar, ia akan menaungi siapa saja yang berada dibawahnya, tak peduli itu manusia atau hewan. Apakah kamu merasa dirimu sudah semakin besar dan menaungi apa saja yang berada dibawahmu?”

“Jadilah seperti pohon yang selalu menyejukkan, memperindah dan mempercantik tempat-tempat gersang. Apakah kamu merasa kehadiranmu telah membuat hati-hati yang gersang menjadi sejuk dan indah kembali?”

 “Jadilah seperti pohon. Satu-satu kehidupan yang tumbuh ke atas dan berhasil melawan kuatnya gravitasi Bumi. Apakah kamu merasa dirimu telah berhasil melawan kuatnya godaan dan tantangan akan terus bertumbuh menjadi manusia dan guru yang lebih baik dari hari ke hari?”

 “Jadilah seperti pohon yang menyuburkan tanah di sekitarnya dan menyimpan air di bawahnya untuk kehidupan semua makhluk hidup lainnya. Apakah kamu sudah menyuburkan lingkungan sekitarmu?”

 “Jadilah seperti pohon, Seandainya sudah mati pun tubuhnya masih berguna bagi kesuburan tanah atau menjadi bahan baku tempat tinggal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.”

Menurut Anda, apakah kita sudah lebih baik dari pohon?  

SYAJARATUL YAQIN (Pohon Keimanan)

Rabu, 08 Juni 2016

DETIK-DETIK RASULULLAH SAW DIBANGKITKAN


Ketika sangkakala Malaikat Israfil ditiup, maka kiamat pun terjadi. Pada saat itu orang-orang berlari tunggang-langgang karena ketakutan, sampai-sampai wanita yang hamil pun akan melupakan bayi yang dikandungnya. Ketika huru-hara kiamat terjadi, maka setiap makhluk yang ada di bumi akan binasa, bahkan para setan pun mencoba lari dari kejaran malaikat maut, namun malaikat maut dengan mudah mencabut nyawa setan-setan. Ketika semua makhluk sudah binasa, maka yang tersisa hanyalah malaikat. Kemudian Allah akan memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawa para malaikat seperti Jibril, Israfil, Mikail, malaikat-malaikat penyangga Arsy Allah, dan malaikat-malaikat lainnya. Kemudian Allah akan memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawanya sendiri. Dengan demikian, hanya Allah satu-satunya Yang Tetap Hidup.

Saat semua makhluk sudah binasa dan keadaan diliputi kehampaan selama beberapa waktu lamanya, kemudian Allah akan menghidupkan Israfil, Mikail, Jibril, dan malaikat-malaikat yang menyangga singgasana Allah. Dia akan memerintahkan Israfil untuk meniup sangkakala sekali lagi untuk memulai penghisaban.

Allah mengirim Jibril dan Mikail dengan kunci surga untuk membuka makam dari seorang manusia yang paling mulia di dunia. Jadi mereka datang dengan misi spesial untuk membuka makam Nabi Muhammad S.A.W. di Madinah.

Setelah bangkit dari tidur panjangnya, Rasulullah S.A.W. bertanya “Hari apa ini? Apa yang telah terjadi?”

Jibril A.S. menjawab “Sekarang adalah hari dimana amalan manusia akan dihisab.”

Kalimat berikutnya yang keluar dari bibir Rasulullah S.A.W. adalah “Bagaimana keadaan umatku?”

Subhanallah, beliau menanyakan tentang umatnya! beliau tidak menanyakan dirinya, istri, atau anak-anaknya, namun beliau bertanya tentang umatnya, karena beliau tahu bahwa umat Islam membutuhkannya pada hari itu.

Saudara/saudariku sesama Muslim, apakah kalian mencintai Rasulullah S.A.W.? Karena demi Allah, Rasulullah sungguh mencintai kalian.


Sebagai catatan, ada sebuah hadist yang disabdakan Rasulullah berkenaan dengan kita. Pada suatu hari, Rasulullah sedang duduk bersama para sahabatnya. 

Kemudian dia berkata “Aku sangat rindu pada kekasihku.”

Para sahabat berkata Ya Rasulullah, kami berada disini bersamamu, kau tidak perlu merindukan kami.”

Rasulullah bersabda “Kalian semua kuanggap sebagai sahabat, namun aku rindu dengan kekasihku.”

Mereka bertanya “Siapa kekasihmu?”

Rasulullah bersabda “Orang-orang setelahku, yang tak pernah melihatku tapi beriman kepadaku.”

Kesimpulan dari hadist di atas adalah Rasulullah S.A.W. menganggap kita sebagai kekasihnya. Apakah kita juga mencintainya sebagaimana beliau mencintai kita? Karena pada hari penghisaban saudara/saudari Muslim-ku, beliau akan menanyakan tentang kita.

(Pengasuh Saung Ketenangan Cakra Jiwa)