Warga
Suka Damai kembali berbondong-bondong ke rumah mbah Qodim usai gugur gunung,
menghilangnya sosok tua renta itu membuat warga semakin mawas diri saat melihat
situasi negeri, mulai dari bencana yang kian menjadi sampai prilaku anak negeri
yang semakin jauh dari budi pekerti.
Warga
tertegun saat melihat sosok mbah Qodim duduk bersila memejamkan mata dengan
alunan nafas yang sangat halus, warga sedikit mengerti bahwa hal itu selalu
dilakukan oleh mbah Qodim, beliau menamainya dengan istilah Taffakur.
Dengan
perlahan warga mendekati saung kecil diantara kebun dan kolam ikan, “Assalamu’alaikum,
mbah” sapa warga berbarengan. Mbah Qodim membuka matanya lalu menjawab “Wa’alaikumussalaam,
eh bapak-bapak, mari monggo duduk di Saung reot ini”.
Warga
satu persatu duduk melingkar di atas saung, mereka semua terlihat sangat
berhati-hati kali ini.
Pak
RT “Mbah, lama sekali mbah tidak mampir ke warung mak Narti, beliau selalu
nanya kemana mbah selama ini?”
Mbah
Qodim “Enggeh bapak-bapak, yah mungkin pelukan usia semakin erat membuat mbah
semakin terengah-engah untuk melegakan nafas ini”.
Pak
RW “Kami masih boleh banyak bertanya kan mbah?”
Mbah
Qodim tersenyum “Hehehehe pak RW ada-ada saja, monggo, lha wong mbah nggak
nongol itu bukan berarti putus hubungan silaturrahim sama bapak-bapak semua, akan
ada saatnya kita sering lagi berkumpul sambil menikmati nikmatnya kopi buatan
mak Narti”.
Pak
RW “Mbah bencana alam kini semakin menjadi, namun generasi penerus negeri ini
semakin lupa diri, seakan tidak ingat bahwa semuai ini adalah peringatan agar
kita mawas diri, bagaimana tuh mbah?”
Mbah
Qodim “Wes wayahe bapak-bapak, wes wayahe”.
Pak
RT “Lha terus gimana mbah?”
Mbah
Qodim “Ya teruslah banyak berdzikir dan bersholawat bapak-bapak, tingkatkan
ibadah kita, saat ini kita akan memasuki masa pengayaan atau penyaringan, hasil
ayaan akan terpisah menjadi 2, halus dan kasar”.
Semua
warga menunduk, “Lalu kenapa prilaku penghuni negeri ini semakin sulit jauh
dari kendali, mbah?” Tanya pak RW
Mbah
Qodim menunduk “Karena Imam-imam negeri ini sedang sibuk pada hal-hal duniawi
bapak-bapak”.
Pak
RT “Apakah itu sangat berpengaruh mbah?”
Mbah
Qodim “Ya tergantung bagaimana jiwa mereka menanggapinya, semua jiwa akan
terbentuk sifatnya sesuai dengan kebiasaan makanan yang diberikan tiap harinya”.
Pak
RW “Jadi jiwa kita ini juga makan mbah?”
Mbah
Qodim “Enggeh pak RW”.
Pak
RW “Makanan jiwa itu seperti apa mbah?”
Mbah
Qodim “Yaa apapun kegiatan yang kita lakukan tiap hari pak RW, ingat sirothol
itu ada dua, jalan ruh itu ada dua, kanan dan kiri, makanan jiwa juga ada 2 …
baik atau buruk … juga kebahagian bahkan ketenangan itu juga ada dua, kanan dan
kiri”.
Pak
RT “Misalnya mbah, kami belum mengerti”.
Mbah
Qodim menghela nafas tuanya “Saat seseorang gelisah, anggap saja saat itu
jiwanya sedang lapar hingga butuh makanan, ada yang dengan mendengarkan musik
maka gelisahnya menjadi hilang, ada yang piknik, atau mencari kuliner atau juga
menonton film bahkan nonton sepak bola dan lain-lainnya, nah tanpa sadar kita
sudah memberikan makan kepada jiwa kita dengan makanan-makanan tersebut,
sehingga tiap kali ketenangan hilang maka prilaku-prilaku tadi akan disuguhkan
untuk menenangkan jiwa di dalam dirinya, di lain tempat ada yang mendapatkan
ketenangan apabila ia beribadah kepada Tuhannya, dengan sholat misalnya, atau
melakukan puasa, berdzikir, bersholawat, menolong orang lain sehingga senyum
terbit pada orang yang ia tolong, maka tiap kali jiwanya gersang maka prilaku
tersebut cepat ia lakukan untuk mengenyangkan jiwanya”.
Pak
RW “Lalu mbah?”
Mbah
Qodim “Coba bapak bapak sekalian renungkan, apa yang membuat bapak-bapak
tenang? Disitu terlihat jelas apa yang bapak-bapak biasa berikan untuk membuat
tenang jiwa bapak-bapak sekalian, pada umumnya sih gado-gado… kadang-kadang memberikan
makan keduniawian kadang-kadang keakhiratan, nah untuk memurnikan jiwa maka
berikan 1 makanan yang suci sehingga jiwa kita bersih, memang berat, namun
secara perlahan bila riadho bapak lakukan dengan istiqomah maka yakinlah semua
itu akan bisa bapak-bapak dapatkan, bila jiwa bapak sudah mendapatkan atau
terbiasa memakan makanan yang baik maka ia akan jernih, ibarat cermin ia bisa
bapak jadikan alat untuk berkaca sehingga bisa melihat/intropeksi tentang
keadaan diri bapak masing-masing”.
Semua
warga mengangguk sambil merenungi kata-kata mbah Qodim.
Mbah
Qodim “Lalu ada camilan yang biasa juga kita berikan kepada jiwa, misalnya
mudah sekali mengeluh, mencaci, berdusta, atau menghina orang lain, jiwa kita
seolah olah nggak puas bila kita belum menghina orang, atau tidak tenang bila
kita belum mencaci prilaku orang, itulah camilan jiwa yang tanpa sadar kita
berikan setiap harinya …. Ingat bapak-bapak sekalian … jiwa kita itu terus
berkembang dan membesar, dan makanan atau camilan yang terbiasa ia makan akan
mempengaruhi perkembangannya”.
Pak
RT “Seperti yang sering kita lihat di medsos ya mbah, mudahnya orang komen
seenak udele, padahalkan udel mereka nggak enak?”
Mbah
Qodim tersenyum “Wes wayahe … wes wayahe ..”.
Pak
RW “Mbah, mau Tanya nih, apa betul muhabalah seseorang bisa mendatangkan
musibah, karena ada salah seorang di negeri ini yang muhabalah bersaksikan Al
Quran di kepalanya saat hatinya merasa terdzolimi, namun ada yang membalasnya
dengan komenan sinis mengibaratkan sang muhabalah diolok-olok adalah seorang
wali yang doanya mustajab, hingga musibah terjadi karena muhabalah tersebut, juga
apa bener sih mbah jika kaum yang di negeri itu apabila banyak melakukan maksiat
maka bencana akan diturunkan oleh Allah SWT, tapi kok ada yang bisa menjelaskan
secara ilmu pengetahuan bahwa bencana itu benar-benar masuk akal karena sebab
musabab alami?”
Mbah
Qodim menatap pak RW dengan teliti “Sekali lagi mbah ulangi, itu tergantung
makanan apa yang kita berikan untuk jiwa kita, bila makanan jiwa kita selalu
jelek ya yang ada kedangkalan berfikir sehingga cela, hina dan olok-olok cepat
sekali keluar dari dalam diri kita, fahamilah bapak-bapak, semua yang ada di
dunia ini, apapun yang akan terjadi selalu ADA TANDA-TANDANYA …. Nah Allah SWT
itu adalah Dzat Maha Hebat dalam taktik dan strategi, bisa saja DIA sebelumnya
memberikan tanda-tanda dengan angin, burung-burung, kelahiran bayi, ocehan
orang gila, status FB seorang wanita yang tidak sengaja minta gempa, atau bisa
saja muhabalah seorang yang merasa teraniaya, intinya adalah Allah SWT ingin memberi
pesan sebelum hal itu terjadi, maka dahulu Rasulullah SAW pernah bersabda
tentang ramalan masa depan yang saat ini banyak terjadi, atau sanepan para wali
yang ternyata mengandung arti, jadi Allah SWT adalah Dzat Yang Maha menentukan
dengan cara apa DIA memberikan tanda-tandanya, jadikan hal itu untuk
meningkatkan keimanan kita, jangan terjebak siasat syetan yang akan
menggelincirkan keimanan kita, mengenai bencana itu karena maksiat, bapak-bapak
silahkan baca sendiri dalan kitab Al Quran dan Hadist Nabi, apa yang diberikan
oleh kedua pedoman tersebut imani dengan sungguh-sungguh, bila ada yang
menjawabnya secara alamiah dan meniadakan unsur Ilahiyah ya itu pertanda
jiwanya sering makan makanan keduniawian”.
Pak
RW “Lalu apa yang semestinya kita lakukan mbah?”
Mbah
Qodim “Pemerintah dan masyarakat harusnya mulai tanggap akan keadaan diri,
banyak-banyaklah mohon ampun dan mulai memperbaiki prilaku yang tidak disukai
oleh Sang Penguasa Ala mini …. Mbah lihat contoh positif yang sudah dilakukan
TNI, se Indonesia mereka menggelar doa bersama, semoga ini bisa di jadikan
contoh untuk seisi negeri sebelum banyak lagi tangisan-tangisan dan
kesengsaraan yang datang menghampiri”.
Pak
RW “Jika itu tidak dilakukan mbah?”
Mbah
Qodim “Berarti kita semua sedang dalam ayakan besar yang bernama hisab dunia …
dimana saat kita diayak maka akan terbagi 2 golongan … HALUS dan KASAR …. Atau
bahasa lain LANJUT atau BERHENTI !!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar