Pak RT dan Pak RW serta beberapa warga berjalan menjadi 2 kelompok, masing-masing terlihat seperti belum puas dengan sebuah kejadian, keduanya merasa paling benar dan saling melemparkan kekesalan, sesampainya di warung mak Narti dua rombongan yang berjalan seiringan tersebut duduk di sekitar meja Mbah Qodim yang tampak seorang diri, posisi duduk pak RT dan pak RW pun kali ini berbeda, masing-masing bergerombol di sisi kanan dan kiri mbah Qodim.
“Mbah !! kenapa tadi gak ikut menyaksikan debat calon ketua himpunan pengumpul padi di desa kita?, seru mbah, menurut saya ilmu-ilmu pengetahuan Pak Sadi sangat berlian dan tepat untuk diterapkan di desa kita”. Suara lantang pak RW menggema, seakan-akan disengaja agar terdengar semua orang di warung tersebut, sementara orang-orang di belakang pak RW bertepuk tangan riuh memberi dukungan, sedangkan di kubu pak RT semuanya berseru ‘HUUUUUUU’
Pak RT pun tak kalah garang “Mbah kan tahu pak Saju, ternyata ilmu pengetahuannya jauh di atas pak Sadi!!” semua orang di belakang pak RT pun berteriak ‘BETTUUUULLLLL’
Melihat itu kelompok pak RW pun mencemooh kelompok pak RT, bahkan ada yang mulai mengejek dan mencaci, tak hanya disitu saja suasana panas tersebut berlangsung, pak RW berdiri lalu membuka kancing bajunya sembari berkata lantang “Heh bapak-bapak !!! kalau pak Sadi kalah, saya akan berhenti jadi RW dan saya akan angkat kaki dari desa ini !!!!”
Sebelum pak RT menjawab mereka semua terdiam melihat mbah Qodim berdiri meninggalkan kursi dimana ia duduk, di meja tersebut terlihat segelas kopi baru terminum seperempatnya, mbah Qodim berjalan menuju pintu keluar warung, semua warga terdiam dan bengong melihat mbah Qodim berjalan, tanpa di sangka-sangla oleh warga, mak Narti berhenti menghadang mbah Qodim “Mbah, kopinya belum habis diminum, mbah mau kemana?”
Pak RT dan pak RW tanpa disengaja berjalan mendekati mbah Qodim berbarengan, mereka berdua memegang tangan mbah Qodim, “Mbah kalau kami menyinggung perasaan mbah, kami mohon maaf, namun sudilah kiranya mbah memberikan kami wejangan”
Mbah Qodim melihat kedua orang tersebut, lalu kembali menuju ke kursi dimana ada segelas kopi miliknya di atas meja depan kursi tersebut. Begitu mbah Qodim duduk wargapun berbaur melingkari tempat duduk mbah Qodim.
Suara lirih mbah Qodim mulai terdengar “Dahulu, saat mbah berguru di Saung Ketenangan Cakra Jiwa, mbah sempat memiliki sahabat yang bisa dikatakan memiliki perangai pemarah dan kurang teliti dalam belajar, sahabat mbah itu mengatakan bahwa rukun Islam itu 6, dan mbah meluruskannya dengan memberi tahu yang sebenarnya bahwa rukun Islam itu 5, namun dia tidak mau mengalah, dia ngotot tetap bilang 6, kami akhirnya berdebat hebat, tetapi sahabat mbah itu tetap tidak mau mengalah, sampai akhirnya kegaduhan kami terdengar oleh Guru yang sedang melintas … sang Guru bertanya kenapa kami berdebat, lalu sahabat saya menjelaskannya dan meminta Guru untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, Guru bertanya kepada mbah, ‘Qodim jika kamu yang salah apa hukumanmu?’ karena mbah yaqin benar maka mbahpun menjawab siap di cambuk 10 kali dengan bambu yang saat itu dipegang oleh sang Guru, lalu Guru bertanya kepada sahabat mbah dengan pertanyaan yang sama, jawabannya sungguh mengagetkan, ia mengatakan akan gantung diri di pohon besar depan Saung bila ia yang salah”
“Lalu mbah?” suara pak RW lirih.
“Sang Guru memerintahkan mbah membalikkan tubuh mbah, saat itu mbah merasakan 10 kali cambukan bilah bambu, kuat, cetar dan menimbulkan bunyi yang keras sekali, sakit… perih … yang terasa di punggung mbah namun tak sesakit hati mbah yang merasa mendapatkan tidak keadilan ….kenapa Guru yang sangat mbah puja-puja memiliki kearifan dan keilmuannya justru membela sahabat mbah yang salah dan memvonis mbah lah yang salah, setelah mencambuk mbah, Guru meninggalkan kami berdua, sahabat mbah mendekati mbah lalu membantu mengelap darah yang ada di punggung mbah … malamnya mbah menangis sampai subuh tiba, dan setelah sholat subuh berjamaah, mbah putuskan untuk menunggu sampai tinggal kami berdua di tempat itu, lalu mbah pamit kepada beliau karena mbah merasa sudah tidak selayaknya beliau mbah jadikan Guru”
Mbah Qodim menangis sesegukan … air matanya benar-benar berlinang. “Sang Guru tetap saja tidak mau membalikkan tubuhnya yang saat itu duduk di pengimaman… lalu terdengar suaranya yang lembut “Qodim, bagaimana engkau bisa menjadi orang yang memiliki ilmu kearifan jika engkau masih mau berdebat dengan orang yang rendah keilmuannya, bagaimana jiwamu bisa menampung samudera bila engkau melayani perdebatan dengan orang yang sedang menyalakan bara kemarahan … seandainya 10 cambukan itu tidak aku berikan kepadamu, engkau hanya bisa membantu menurunkan jenazah sahabatmu dari atas pohon besar di depan sana, engkau hanya bisa membantu pemandikan jenazahnya, lalu engkau hanya bisa membantu menyolatkan sampai akhirnya menguburkannya, padahal tugas hamba Allah adalah membantu sahabat-sahabatnya untuk semakin tinggi keilmuannya dan rendah kemarahannya…. jika ingin berdebat tunggulah sampai kemampuannya menyamai dirimu sampai ia bisa mengekang nafsu marahnya … barulah 10 cambukan itu akan ku berikan kepadanya”.
Tak terasa pak RT menangis tersedu-sedu, dibenaknya dipenuhi penyesalan karena tindakan dirinya membuat Pak RW bersuara lantang berisikan konsekwensi akan meletakkan jabatan RW dan angkat kaki dari desa ini, apa yang diuntungkan dengan hiruk pikuk dukungan-dukungan tadi, semua akan menjadikan diri sendiri menjadi rugi ….
Lihatlah betapa kedangkalan pengetahuan terjadi di negeri ini … betapa tingginya nafsu amarah di negeri ini … sehingga banyak jiwa-jiwa yang terdorong untuk menganiaya diri mereka sendiri … terjun dari monas lah … di gantung di monas lah … berjalan telanjang lah … potong payudara lah … dan masih banyak lagi yang lainnya …. Astaghfirullahal Adzim …. Semoga Negeri ini masih menyimpan para pelita dan lentera kearifan sehingga kelam negeri ini segera tenggelam dan terbitlah sebuah Negeri yang dilimpahkan kebersamaan dan kejayaan … Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar