Rabu, 22 Agustus 2018

HAJI BAGIAN 1


Jamaah Mushola Al Latif tampak duduk di teras depan seusai sholat Isya, memang mbah Qodim melarang jamaah untuk ngobrol di dalam mushola, bukan saklek dilarang, niat beliau hanyalah berjaga-jaga dari siasat syetan yang biasanya menyelipkan canda dan gurauan bahkan sedikit menyinggung hujatan yang dibungkus tawa, dalam Mushola dibiasakan untuk beribadah ataupun bermusyawarah, jika ingin obrolan santai maka teras lebih tepat untuk berholaqoh.

“Mbah …. Lha kok repot-repot sih?” pak RW menucapkan basa basi saat mbah Qodim membawa senampan kopi panas.

Mbah Qodim “Selama ini kan mbah sudah banyak ditraktir oleh bapak-bapak, tidak ada salahnya bila saat ini mbah yang mentraktir hehehee”.

Warga pun tersenyum, seorang yang lebih muda umurnya segera sigap membantu mbah Qodim menurunkan gelas-gelas dari nampan untuk disuguhkan kepada jamaah. Lalu mbah Qodim duduk santai beserta warga.

Mbah Qodim “Bagaimana puasa hari ini bapak-bapak?”

Wargapun dengan serempak menjawab “Alhamdulillah mbah” lalu Pak RT membuka obrolan … “Kebetulan nih mbah, kami ingin sedikit memetik hikmah haji, bagaimana sih ibadah haji menurut pandangan mbah?”

Mbah Qodim tampak sedikit mengerutkan dahinya “Ibadah haji itu dalam rukun Islam berada pada posisi urutan ke 5, merupakan penyempurna 4 rukun sebelumnya (lalu mbah Qodim mengangkat 5 jarinya) lihatlah bapak-bapak … jari kelingking ini anggap saja Syahadat, ringan, siapapun bisa mengucapkannya, tidak kenal situasi kaya ataupun miskin, sehat ataupun sakit, semua bisa mengucapkannya (lalu jari kelingking tersebut dilipat oleh mbah Qodim) nah jari manis ini adalah Sholat, dimana orang yang sudah sholat akan merasakan kemanisan hidup, maka tak jarang jari yang satu ini mendapatkan hadiah berupa cincin, menunjukkan betapa indahnya ibadah kedua ini (jari manispun dilipat oleh mbah Qodim, terlihat jari tengah mbah Qodim mulai ditunjuk oleh mbah Qodim) ini Puasa, dimana amalan yang satu ini memiliki kekuatan penyeimbang, amalan luar biasa yang bisa menjadi jembatan bagi yang rajin mengamalkannya (lagi-lagi jari tengah tersebut mbah Qodim lipat) kemudian telunjuk, ini gambaran amalan zakat ataupun shodaqoh, mengapa digambarkan pada jari telunjuk, itu karena orang-orang yang diwajibkan melakukan amalan ini adalah mereka yang sudah memiliki kelebihan rizki maka dengan telunjuk ini ia bisa memerintahkan orang lain (jari telunjukpun mbah Qodim lipat lalu tinggallah jari jempol/Ibu jari) yang terakhir inilah yang lebih besar bentuknya, dimana jari ini sering menjadi perlambang hebat – bagus – luar biasa dan hal-hal baik lainnya, selama masih menghadap ke atas, namun bila di balik maka akan menjadi makna kebalikannya (anehnya mbah Qodim belum melipat jari jempolnya)”.

Pak RW “Kok belum dilipat seperti lainnya mbah?”

Mbah Qodim “Hehehehe, enggeh pak RW … mbah juga lama merenunginya, mengapa jempol ini banyak yang tidak dilipat oleh saudara-saudara Muslim kita, mereka tanpa/dengan sengaja memperlihatkan jempol ini terus menyembul, maka tak heran, sepulang dari ibadah haji maka PANGKAT haji akan mereka letakkan di depan nama mereka”.

 Wargapun mulai merenungi kata-kata mbah Qodim

 Mbah Qodim “Kelingking dilipat maka tak ada sebutan Pak Syahadat, jari manis tetep terlipat makanya tidak ada Pak Sholat, tidak ada Pak Puasa juga Pak Zakat …. Namun anehnya banyak sekali sebutan Pak Haji …. “.

“Itukan karena mereka sudah ibadah haji mbah!” celetuk salah satu warga.

Mbah Qodim mantuk-mantuk “Iya … bila seorang muslim sudah beribadah Haji lalu dipanggil pak haji, kenapa muslim yang sudah melakukan ibadah sholat tidak dipanggil pak Sholat?”

 Semua wargapun mangguk-mangguk “Jadi bagusnya gimana mbah?” Tanya pak RW

 Mbah Qodimpun melipat jempol miliknya, terlihatlah mbah Qodim sedang menggenggam

 “Jadi bagi yang pulang haji jangan kita panggil pak haji dong mbah?” Pak Rt sedikit penasaran.

 Mbah Qodim “Hehehe, itu bukan wewenang kita bapak-bapak, wong kita punya jari-jari sendiri … itu wewenang saudara-saudara kita yang sudah melakukan ibadah haji, apakah mereka ingin menggenggam atau ingin tetap melihatkan jempolnya dalam memegang keislaman mereka”.

 Pak RW “Kalau kita memanggil mereka dengan pak Haji dengan niatan agar mereka selalu mawas diri bagaimana mbah, maksud saya mereka akan menjaga prilaku mereka dengan hati-hati, kan gak etis pak haji tetapi kelakuannya kok g baik”.

Mbah Qodim “Hehehe ya ya ya … memang niatan baik itu baik pak RW namun terkadang niatan baik yang tidak pas pada waktunya justru amat berbahaya bagi yang akan menerima niatan tersebut, lihatlah Rasulullah SAW, beliau tidak menyematkan gelar haji, sahabat-sahabatnya apakah bergelar haji? Contoh Haji Umar Bin Khotob … lalu turun lagi ke generasi selanjutnya kitan contohkan kepada Syeh Abdul Qodir jailani, ada gelar hajinya tidak? … bahkan sampai kepada para wali yang memperkenalkan bangsa ini kepada keislaman apakah bergelar haji? Contoh Haji Maulana Malik Ibrahim?”

Pak RT garuk-garuk kepala “Jadi apa yang akan kita lakukan mbah?”

 Mbah Qodim “Doakan beliau-beliau agar mabrur/mbaruroh tanpa mereka ketahui … itu lebih mulia daripada memanggil gelar mereka, namun semua kembali kepada bapak-bapak, menginginkan mereka menggenggam atau tetap memberi celah jempol mereka tersembul saat memegang keislaman mereka”.

 (BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar